Mohon tunggu...
Joni Satriawan
Joni Satriawan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

2019, Harapan dan Tantangannya

1 Januari 2019   06:40 Diperbarui: 1 Januari 2019   08:03 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Secuil Analisa Tentang Dinamika Politik Indonesia)


Mengawali tulisan singkat ini, terlebih dulu saya ingin mengucapkan Selamat Tahun Baru 2019 kepada sahabat dan saudara-saudara semua. Seperti momentum pergantian tahun-tahun sebelumnya, pergantian tahun kali ini diwarnai oleh aneka ragam kegiatan, baik yang berskala besar maupun kecil. Do'a bersama, konser musik, hingga makan-makan bersama keluarga dan sahabat. 

Kendati demikian, bukan berarti tidak ada yang memilih diam di rumah dan membiarkan malam pergantian tahun ini berlalu begitu saja. Merayakan pergantian tahun hanyalah persoalan pilihan semata. Tidak ada keharusan di dalamnya.

Terlepas dari itu, yang pasti pada  2019 ini setiap individu berharap agar segala kebaikan dapat memyelimuti hari-harinya. 2019 diharapkan menjadi awal kebaikan untuk tahun-tahun berikutnya. Berharap perekonomiannya meningkat, merasa tentram, nyaman dan damai hidup di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Harapan tersebut sedikitpun tak salah. Jika terejawantah, maka tentu semuanya akan bersyukur dan senang. Namun, mungkinkah harapan itu dapat terejawantah? Bisa iya dan bisa tidak, alias belum tentu. Semuanya kembali kepada para elit dan diri kita masing-masing.

Kenapa demikian? 2019 ini adalah tahun politik, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Bahkan, 2019 ini merupakan kali pertama Pilpres dibarengi dengan Pemilihan Legislatif (Pileg). 2019 ini bisa dikatakan sebagai tahun penentuan nasib rakyat untuk lima tahun ke depan.

Pemilihan kepemimpinan nasional, sebenarnya  menjadi ajang untuk mengedukasi rakyat. Mestinya, senjata yang digunkan kandidat dan tim sukses adalah gagasan dan program pembangunan. Melalui gagasan dan program pembangunan, kandidat beserta tim sukses mentransformasikan pemahaman dan membuka paradigma rakyat. 

Sehingga rakyat terdidik dan dapat menggunakan hak pilihnya dengan tepat, baik dan benar. Memilih secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Luberjurdil) kandidat mana yang dianggapnya bisa mengejawantahkan kesejahteraan dan kebaikan terhadap dirinya.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Jauh sebelum pencalonan hingga saat ini, perang wacana antar kontestan terus bergulir. Parahnya, isu yang selalu muncul ke permukaan merupakan persoalan yang sensitifitasnya sangat tinggi. 

Di dalamnya ada politik identitas atau persoalan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA), ditambah lagi dengan maraknya informasi yang tidak benar adanya. Berita hoax, kebohongan, ujaran kebencian semakin merajalela, bahkan saat ini telah inheren dalam kehidupan sosial kita.

Akibatnya, kebencian dan caci maki antar simpatisan di kalangan grassroot pun tak dapat terelakkan. Hal tersebut dapat dilihat dari  berbagai kolom-kolom kementar dan berbagai link di media sosial.

Hal demikian menguatkan perspektif yang menganggap bahwa dalam politik itu cara apapun sah untuk dilakulan demi mencapai sebuah kekuasaan. Politik seperti inilah yang disebut sebagai teknik firehose of falsehood. Sebuah teknik propoganda yang tidak memperdulikan unsur benar salah, yang penting bisa mendulang simpati rakyat. Kalau kata lainnya oleh Machiavelli menyebut teknik ini sebagai devide et impera (menghalalkan segala cara).

Kondisi seperti ini sungguh sangat berbahaya, terutama bagi integrasi bangsa, persatuan dan kesatuan. Ingat, tidak ada negara yang kuat jika di dalamnya dipenuhi kabut kebencian. 

Mensejahterakan sebuah bangsa harus diawali dengan adanya kedamaian dalam bangsa itu sendiri. Kedamaian dapat terciptakan jika adanya cinta kasih, dan cinta kasih harus dibarengi dengan komitmen, terurama komitmen dalam diri individu setiap elit. Badshah khan menyebut konsep ini mohabbat (cinta dan kasih sayanglah yang menjadi pondasi awal kesejahteraan).


Penulis adalah Bidang Politik dan Kebijakan Publik PB PMII

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun