ARTIKEL
Mengenal Perspektif Budaya Masyarakat Sumba Dalam Perawatan Anak dengan DBD
Oleh
JONI RADA PRAING
Mahasiswa Fakultas Keperawatan UNAIR
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. DBD menjadi permasalahan yang menakutkan karena penularannya dapat berlangsung cepat dalam suatu wilayah. Bahkan dalam satu bulan, jumlah kasus DBD pada wilayah endemik bisa mencapai puluhan manusia yang terinfeksi virus dengue. Â
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat pada tahun 2016, terdapat 201.885 penderita DBD di seluruh wilayah Indonesia dimana sebanyak 1.585 penderita meninggal dunia akibat serangan virus dengue yang berpindah ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk. Pada awal tahun 2019 tercatat beberapa daerah melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD diantaranya Kota Manado (Sulawesi Utara) dan 7 kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur (NTT) yaitu Sumba Timur, Sumba Barat, Manggarai Barat, Ngada, Timor Tengah Selatan, Ende dan Manggarai Timur. Sedangkan beberapa wilayah lain mengalami peningkatan kasus namun belum melaporkan status kejadian luar biasa. Â Selain iklim dan kondisi lingkungan, beberapa studi menunjukkan bahwa DBD berhubungan dengan mobilitas dan kepadatan penduduk, dan perilaku masyarakat. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut menjadi landasan dalam upaya pencegahan dan pengendalian DBD. Â
Pada kasus DBD hal yang sangat memperburuk kondisi sesorang adalah akibat syok organ-organ tubuh yang vital tidak atau kurang mendapat supply darah, yang bila tidak teratasi akan menimbulkan kematian. Syok ini timbul akibat terjadinya plasma leakage (kebocoran cairan plasma darah dari pembuluh darah) sehingga darah menjadi kental dan sulit dialirkan.Â
Pengaruh sosial budaya dalam masyarakat memberikan peranan penting dalam mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Perkembangan sosial budaya dalam masyarakat merupakan suatu tanda bahwa masyarakat dalam suatu daerah tersebut telah mengalami suatu perubahan dalam proses berfikir. Perubahan sosial dan budaya bisa memberikan dampak positif maupun negatif.Â
Salah satu contoh adalah Ketika anak umur 6-9 Bulan jika panas lebih dari 3 hari dianggap hal yang biasa akibat pertumbuhan gigi dan proses tumbuh anak sehingga tidak dilakukan pemeriksaan ke fasilitas Kesehatan, contoh lainnya adalah Ketika anak dengan kurang napsu makan selalu diperiksa kepada dukun kampung dan dilakukan pemijatan atau istilah sumba (Urut), hal ini perlu diperhatikan Kembali sehingga tidak terlambat dalam melakukan pemeriksaan Kesehatan pada anak karena sangat mengancam jiwa anak. Karena itulah penting bagi tenaga kesehatan untuk tidak hanya mempromosikan kesehatan, tapi juga membuat mereka mengerti tentang proses terjadinya suatu penyakit dan bagaimana meluruskan keyakinan atau budaya yang dianut hubungannya dengan Kesehatan.Â