Air Mata Mengalir Sampai ke Sawah
Orang mengalirkan air ke pematang-pematang sawah, menebarinya dengan pupuk, lalu menjaganya selama beberapa bulan dari serangan hama, musibah banjir atau kekerigan, untuk kemudian panen. Tapi mengapa engkau menyirami sawah kami dengan air matamu? Kami tidak mau pohon-pohon di sawah kami akan layu karena airmatamu. Lekaslah pergi! Lihatlah, padi kami lunglai, lesu dan mungkin tak mampu menompang bulir-bulirnya yang kian berisi! Sana, hapus air matamu! Jangan menangis! Air matamu membuat kimiawi tanah garapan kami kacau. Membuat makhluk-makhluk di dalamnya meradang! Jasad renik yang menyuburkan ikut mati bersamanya. Tinggalkan sawah ini!
Itulah mungkin yang akan dikatakan pemilik sawah kalau saja ia melihat saya menangis. Sebab, saya sendiri tidak yakin dengan air mata yang terus mengalir. Tak terbendung. Mungkin kalau dibiarkan bisa segelas, seember, atau sepematang sawah ini. Kalau saja air mata itu saya jual atau dijadikan jus, harganya pasti tak ternilai. Jus Air Mata atau kerennya Tears Juice. Begitulah.
Mengapa air mata saya sebanyak itu? Ini kronologinya.
Hari itu saya masih di lokasi syuting, tiba-tiba sebuah SMS dari ibu mertua masuk ke handphone saya. Isinya lebih kurang mengatakan kalau hari ini mantan istri saya harus ke Jakarta. Kekhawatiran timbul. Itu artinya dia akan meninggalkan anak kami di Jogja. Padahal anak itu belum genap tujuh bulan. Istri saya sepertinya tidak sabar lagi. Keputusan hakim yang mengatakan kami telah bercerai membuatnya ingin buru-buru ke Jakarta untuk segera menikah lagi dengan pacarnya.
Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada anak saya jika ditinggalkan ibunya kelak. Apakah dia disapih? Bagaimana dia akan beradaptasi dengan tetek ibunya yang akan berganti dengan botol tanpa lebih dahulu di-training? Saya menangis membayangkan anak saya. Saya tak mampu lagi meneruskan pekerjaan yang biasanya kelar sampai pukul 11 atau 12 malam. Sebab, saya tahu kelak anak saya akan ditinggal bersama Mbah-putrinya (ibu mertua) sendirian.
Untuk itulah saya bertekad pulang ke Jogja segera. Meskipun pekerjaan belum rampung dan gaji belum di tangan saya berencana Jogja dengan kereta malam.
Sore itu juga bergegas menuju stasiun dengan uang yang saya pinjam dari seorang teman bagian artististik. Saya sebutkan, namanya Asep. Dia bilang, “sebaiknya kamu pulang dulu saja, Brother. Temani anakmu. Pekerjaan kapan saja bisa datang. Rejeki pasti ada yang ngatur. Jangan takut!”
Memang saya baru dapat lagi pekerjaan ini setelah lama menganggur. Namun meninggalkan pekerjaan yang baru saja dijalani terasa kalut kalau-kalau nanti dipecat. Tidak diajak lagi. Tapi untuk anak yang sedang menderita, saya mau nggak mau harus pulang!
Saya minta ijin pada sutradara dan produser dengan menyebutkan kalau anak saya sakit. Mereka mengijinkan. Dan saya pun bergegas pulang untuk kemudian melanjutkan ke stasiun.
Ternyata sampai stasiun Senen tak ada kereta lagi ke Jogja. Uang saya hanya empat puluh ribu. Uang tersebut seharusnya cukup untuk naik kereta api Ekonomi Progo yang waktu itu harga tiketnya masih 28 ribu rupiah. Tapi naas, kereta tersebut telah berangkat beberapa menit yang lalu. Saya mencari tahu kereta apakah yang bisa membawa saya ke Jogja malam ini? Namun dari keterangan yang saya dapat, tak ada lagi kereta malam ke Jogja setelah Progo--kereta ekonomi yang pada tahun 90-an bernama Empu Jaya.