Pulang ke Kotamu Seperti ayah-ayah yang lain, saya merindukan anak hampir setiap waktu. Berada di dekat mereka. Melihat dia tumbuh, mengatasi apa yang dikeluhkannya, melindunginya setiap waktu, dan siap memenuhi apa yang dia inginkan. Bercengkrama. Membacakan dongeng. Membuat rumah-rumahan dari bantal dan selimut. Mengajukan pertanyaan dalam bentuk teka-teki. Atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kita tak mampu menjawabnya. Pertanyaan seperti, mengapa kucing mengeong? Kok agar-agar mengeras? Atau, apa sih yang dikatakannya anjing itu? Seperti itulah, sampai kita—ayah mereka--akan mencari jawaban itu melalui search engine google, atau bertanya pada Profesor Yohanes Surya dalam rubrik Fenomena di majalah Intisari. Namun saya bukanlah ayah yang demikian. Saya hanya seorang laki-laki yang setiap minggu harus berjuang menjadi ayah. Saya katakan berjuang karena saya tidak seperti ayah-ayah lain pada umumnya. Untuk bertemu anak—yang kini umurnya baru dua tahun delapan bulan—saya menempuh perjalanan kereta 512 kilometer dari Jakarta-Jogja. Hal sederhana bagi mereka yang koceknya selalu terisi. Tapi buat saya yang bekerja sebagai kru freelance di program televisi musiman—perjalanan itu memakan biaya besar. Apalagi kalau dilakukan setiap minggu. Saya memang tidak beruntung. Perceraian saya dengan ibunya anak saya, memaksa saya harus merelakan anak ikut ibunya. Begitulah keputusan hukum. Namun saya tidak ingin ribut-ribut minta diekspos oleh wartawan infotaiment untuk memaksa anak ikut saya. Atau mengadukannya ke Kak Seto dan Komnas Perlindungan Anak. Atau yang lebih ekstrim menculiknya lalu mengadakan jumpa pers dan seterusnya. (Memangnya saya selebritas? He.he.he) Tidak. Saya hanya ingin menjadi ayah biasa meskipun harus berjuang keras “untuk menjadi ayah” dalam setiap minggunya. Saya lanjutkan tema perjuangan tadi. Sesampai di Jogja, saya tidak langsung segera bisa menemui anak saya. Saya harus memutar otak dulu. Dimana saya harus menaruh barang-barang bawaan, di mana saya harus menginap nanti malam, apa oleh-oleh buat mertua, apakah anak saya mau menemui saya, ke mana anak akan saya bawa bermain, apakah uang saya cukup untuk membeli es krim merek Haagen Dasz kesukaannya, bagaimana kalau dia sakit—apakah saya bisa menemuinya, dan seterusnya, dan seterusnya…. Setelah itu saya juga harus mencari cara bagaimana supaya anak saya mau ikut? Bagaimana merayu dia agar lepas dari pelukan ibunya dan bermain bersama saya? Mencoba mengatakan kalau saya begitu kangen kepadanya. Menahan rasa cemburu karena dia membiarkan saya, sementara dia telah menggandrungi permainan bulu tangkis dengan ayah barunya. Selain itu saya juga harus berbesar hati karena dia memanggil saya dengan sebutan “Ayah Poo” karena saya memang gendut seperti tokoh Poo dalam Kungfu Panda, sedangkan ayah barunya dipanggil dengan dengan sebutan “Ayah Ganteng”. Adakalanya saya juga harus pasrah karena anak saya tidak di rumahnya dan telah berlibur di sebuah tempat rekreasi bersama Pakdenya atau Budenya—yang juga dipanggilnya dengan sebutan “Papa” dan “Mama”. Begitulah. Di dalam kereta yang saya tumpangi ,sesekali saya membayangkan, kalau terus menerus seperti ini suatu hari kelak mungkin saya akan bernasib naas mengalami kecelakaan kereta. Sebab, seperti kita tahu, moda transportasi darat inilah yang paling sering mengalami kecelakaan. Lalu bagaimana dengan nasib anak saya? Saya tidak punya warisan apa-apa untuk masa depan dia. Apalagi asuransi. Takut juga kalau dipikirkan. Tapi saya tidak bisa tidak harus ke Jogja. Saya dahaga untuk sekedar meneguk cinta dari si buah hati. Meskipun kelegaan itu tak lebih dari sehari lamanya. Ibarat handphone, dia menjadi satu-satunya charger ketika saya “lowbat”. Ketika batere saya tinggal segaris dan saya membutuhkan energi darinya. Ketika pekerjaan semakin berat, masalah semakin menumpuk, dan rasa lelah menyesak, sementara pulang ke kontrakkan hanya menemukan piring kotor dan tiga kucing yang belum diberi makan, mau tidak mau saya harus segera berangkat ke Jogja. Agar semuanya menjadi plong. Agar sepatu yang lelah ini menemukan raknya. Agar tubuh yang berjalan jauh ini menemukan rebahannya. Begitulah kata Rendra, penyair flamboyan yang beberapa bait puisinya melekat di kepala saya sejak SMA. Sungguh perjalanan yang mahal dan melelahkan untuk menjadi ayah. Namun saya tidak mau menghitung dan mengeluh untuk semuanya. Karena saya telah mendapatkan ganti yang tak terhingga, kelegaan yang menyamudera, dan kepuasan tanpa batas. Semuanya tergantikan. Meskipun hanya berupa pelukan, ciuman, dan kata-kata—“aku sayang ayah,”--yang selalu terngiang dalam perjalanan pulang dan kelak menjadi ramuan Obelix yang ajaib untuk mengatasi rasa lelah, kurang semangat, dan tanpa disadari penjadi pil pencegah maksiat dan kemungkaran. Demikian kekuatan dan pengaruh anak pada diri saya. Dan itulah sebabnya saya selalu ingin pulang ke Jogja untuk menjadi ayah di hari Minggu. Makanya, kalau tak punya uang, saya akan putarkan satu-satunya lagu di folder musik saya di handphone, lagu “Jogja” dari KLa Project (terimakasih telah menciptakan lagu yang menginspirasi saya untuk selalu pulang ke Jogja). Pulang ke kotamu/Ada setangkup haru dalam rindu/Masih seperti dulu/Tiap sudut menyapaku bersahabat/Penuh selaksa makna… BERSAMBUNG MENJADI AYAH DI HARI MINGGU (2) MENJADI AYAH DI HARI MINGGU (3)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H