Jauh sebelum teknologi pangan masuk dalam kuliah-kuliah di Perguruan Tinggi, nenenk moyang Suku Ogan dan Komering di Sumatera Selatan telah mengenal makanan "berteknologi" bernama bekasam. Makanan yang terbuat dari ikan air tawar--yang dibubuhi sedikit garam serta dicampur dengan nasi, dan disimpan beberapa hari di dalam guci ini--tidak saja menghasilkan produk pangan bernilai nutrisi, tapi juga bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia. Hasil fermentasi ikan, garam dan nasi--yang menghasilkan asam laktat--diyakini bermanfaat untuk mengontrol infeksi pada usus, meningkatkan digesti (pencernaan) laktosa, mengendalikan beberapa tipe kanker, dan mengendalikan tingkat serum kolesterol dalam darah. Semua manfaat ini, menurut beberapa literatur, diperoleh dari pertumbuhan dan aksi bakteri asam laktat saat pengolahan bekasam maupun saat proses usus mencerna makanan yang mengandung asam laktat itu sendiri.
Bagi masyarakat Suku Ogan maupun Komering, bekasam sudah menjadi makanan favorit sebagai lauk atau pendamping makan nasi. Umumnya, bekasam yang mereka hidangkan merupakan bekasam yang dicampur dengan buah kepayang atau kluwak (Pangium edule Reinw. ex Blume). Dan hampir setiap rumah di dusun-dusun menyimpan bekasam dalam guci di dapur mereka. Sehingga, bak makanan dalam kulkas, bekasam dapat diambil sewaktu-waktu. Maka wajar jika di dapur-dapur rumah panggung masyarakat Suku Ogan seperti wajib memiliki guci yang umumnya merupakan guci "warisan" turun-temurun yang berasal dari berbagai masa dinasti Tiongkok. Gunanya tidak lain untuk menyimpan bekasam yang mampu bertahan hingga berbulan-bulan. Konon, jika guci yang digunakan bukan asli Tiongkok, maka bekasam yang disimpan tidak tahan lama dan baunya akan menyengat memenuhi ruangan.Â
Entah fakta atau fiksi, konon bekasam merupakan adaptasi dari jenis makanan Tiongkok pada masa lalu yang dibawa oleh para pedagang yang mampir ke Sriwijaya. Kemudian menyebar hingga ke beberapa daerah di sekitarnya sampai ke beberapa daratan di Kalimantan dan Jawa. Hal ini masuk akal jika ditelisik mengapa masyarakat Suku Ogan misalnya, memiliki guci-guci peninggalan Tiongkok. Dan umumnya guci-cuci tersebut bukan untuk pajangan di ruang tamu, tapi sebaliknya, letaknya di dapur sebagai wadah penyimpan bekasam. Dugaan lain, bahwa banyak makanan yang difermentasikan dan masuk ke wilayah Nusantara umumnya berasal dari teknologi pengolahan makanan ala Tiongkok. Termasuk juga cuko atau kuah untuk pempek yang jelas-jelas merupakan adaptasi fermentasi makanan khas Negara Tirai Bambu. Â
Lalu mengapa ikan yang jelas-jelas enak dimakan segar itu diasamkan atau difermentasi? Jawabannya tidak lain adalah alasan ketahanan pangan, food safety. Dengan pengawetan itu, jika sewaktu-waktu pada saat sulit manusia butuh makanan tambahan, maka makanan seperti bekasam adalah jawabannya. Apalagi, ketika manusia mengetahui bahwa evolusi karbodioksida dalam bahan pangan dapat menimbulkan tingkat keasaman yang dapat mengawetkan makanan  pada puluhan ribu tahun silam, mengapa tidak menyimpan ikan dari proses tersebut. Soalnya lagi, cara pengawetan dengan teknologi menggunakan pendingin bersuhu di bawah nol derajat celcius seperti saat ini pada waktu itu belum ditemukan.Â
Kembali ke soal bekasam yang bikin awet muda. Wajar jika anggapan ini menjadi nasihat orang-orang dulu. Meskipun rupanya yang menjijikan, bekasam menjanjikan beragam manfaat dan kaya akan nutrisi. Dan dari asam laktat yang dihasilkannya, mampu mengurangi jumlah bakteri patogen secara efektif pada bakteri jahat Ecolli dan Salmonella. Di samping itu, asam laktat juga dikonsumsi manusia sebagai probiotik, yaitu bakteri bakteri yang dimakan untuk meningkatkan kesehatan atau nutrisi tubuh. Jadi, kenapa tidak untuk mencobanya. [jf]Â
Â
Cara  Membuat Bekasam:
Pilih ikan yang masih hidup dimatikan lebih dahulu, kemudian disiangi (buang isi perut, kepala dan sisik), dibelah dan dicuci.
Ikan yang telah disiangi kemudian direndam dalam larutan garam 16% selama 48 jam dan diatasnya diberi pemberat agar tidak terapung atau kontak dengan udara.
Ikan yang telah digarami kemudian ditiriskan, selanjutnya ditambah nasi 50% dan dari berat ikan. Jika ingin berselera ditambahkan kluwek atau kepayang yang telah dibuang racunnya.Â
Ikan yang telah dibumbui kemudian dimasukkan ke dalam guci atau stoples plastik, kemudian ditutup rapat untuk difermentasi selama satu minggu atau lebih.
(dari berbagai sumber)