Pada 3 Desember, bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional, sekelompok tunawicara di Jakarta menggelar aksi damai di depan Balai Kota untuk menuntut pemerintah menyediakan fasilitas publik yang ramah bagi mereka. Mereka mengungkapkan, banyak layanan umum seperti stasiun kereta, rumah sakit, dan kantor pemerintahan belum menyediakan penerjemah bahasa isyarat atau alternatif komunikasi visual. Aksi ini memantik perhatian masyarakat dan media, yang mempertanyakan bagaimana pemerintah dapat memastikan hak-hak tunawicara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 benar-benar dilaksanakan. Dengan spanduk bertuliskan "Hak Kami Sama", para demonstran menuntut solusi konkret atas persoalan yang telah lama diabaikan ini. Lalu, apa langkah yang harus diambil untuk mewujudkan fasilitas publik yang inklusif bagi kaum tunawicara?
Peristiwa demonstrasi kaum tunawicara di Balai Kota sangat relevan dengan proyek saya yang bertujuan memudahkan komunikasi tunawicara melalui T-Shirt berisi simbol-simbol visual. Aksi tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan komunikasi kaum tunawicara masih sering diabaikan oleh fasilitas publik, mencerminkan realitas yang juga menjadi latar belakang ideasi proyek ini. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap bahasa isyarat, sebagaimana dikeluhkan dalam aksi tersebut, menjadi tantangan yang coba dijawab oleh inovasi T-Shirt ini.
Dengan menerapkan teori semiotik pragmatik Charles Sanders Peirce, proyek ini menawarkan solusi praktis untuk menghubungkan kebutuhan komunikasi tunawicara dengan masyarakat umum. Simbol-simbol pada T-Shirt bertindak sebagai representamen yang dapat diinterpretasikan oleh masyarakat awam untuk memahami kebutuhan atau maksud tunawicara. Hal ini sejalan dengan tujuan aksi damai tersebut, yakni menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan komunikatif bagi kaum tunawicara.
Peristiwa demonstrasi kaum tunawicara dapat dianalisis menggunakan teori semiotik pragmatik Charles Sanders Peirce, yang menjadi landasan dalam proyek T-Shirt ini. Dalam aksi tersebut, para tunawicara menggunakan spanduk bertuliskan "Hak Kami Sama" sebagai tanda (representamen) untuk menyampaikan pesan tentang kebutuhan fasilitas inklusif. Dalam konteks semiotik, spanduk ini berfungsi sebagai simbol---representasi konvensional yang dirancang untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya kesetaraan dalam pelayanan publik. Objek dari tanda ini adalah hak atas fasilitas inklusif, sementara interpretannya adalah pemahaman masyarakat tentang urgensi tuntutan ini.
Analisis lebih lanjut dapat melihat bagaimana tanda dalam aksi ini memengaruhi interpretasi publik. Menurut Peirce, tanda mendapatkan makna melalui hubungan dinamis antara representamen, objek, dan interpretant. Proses ini disebut semeiosis, yang dalam aksi tersebut terjadi ketika masyarakat atau pemerintah memahami pesan pada spanduk dan bertindak untuk memberikan solusi nyata. Namun, tantangan muncul ketika interpretasi tidak menghasilkan tindakan yang diharapkan. Dalam hal ini, proyek T-Shirt dengan simbol-simbol visual menawarkan bentuk tanda yang lebih langsung dan praktis, memungkinkan komunikasi yang lebih efektif dan mengurangi potensi salah tafsir.
Dengan mengaplikasikan prinsip pragmatisme Peirce, proyek T-Shirt ini memperkuat konsekuensi praktis dari tanda. Berbeda dengan spanduk yang hanya bersifat informatif, T-Shirt bertujuan memberikan solusi konkret dalam komunikasi sehari-hari. Simbol-simbol pada T-Shirt dirancang agar dapat digunakan dalam berbagai konteks, seperti mencari toilet, tempat makan, atau transportasi umum. Hal ini mengintegrasikan aspek Firstness (desain simbol yang intuitif), Secondness (hubungan simbol dengan kebutuhan praktis tunawicara), dan Thirdness (pemahaman sosial yang terbangun melalui penggunaan simbol). Dengan demikian, teori semiotik pragmatik tidak hanya menjelaskan permasalahan dalam peristiwa demonstrasi, tetapi juga menawarkan kerangka kerja untuk menciptakan solusi inovatif yang relevan.
Peristiwa demonstrasi tunawicara di Balai Kota dan kebutuhan akan fasilitas publik yang inklusif adalah cerminan nyata dari tantangan komunikasi yang dihadapi oleh kelompok ini. Dengan mengintegrasikan teori semiotik pragmatik, proyek T-Shirt menawarkan solusi yang praktis dan berdampak, menjembatani kesenjangan komunikasi antara tunawicara dan masyarakat umum. Namun, upaya ini hanya akan berhasil jika diiringi dengan kesadaran kolektif dan dukungan kebijakan yang nyata. Fasilitas ramah disabilitas bukan hanya tentang memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga mencerminkan nilai kemanusiaan kita sebagai masyarakat yang inklusif. Saatnya kita berhenti menganggap perbedaan sebagai hambatan dan mulai melihatnya sebagai peluang untuk membangun dunia yang lebih adil dan penuh empati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H