Tugas Pembimbing Kemasyarakatan (disingkat PK) merupakan bagian dari sistem peradilan pidana anak yang secara normatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak (UU SPPA). Sebagai hukum tertulis, UU SPPA memuat materi hukum yang saling terkait, pengaruh mempengaruhi dan terpadu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Tugas PK yang diatur dalam UU SPPA tersebut harus dilandasi oleh pancasila dan UUD 1945, sebagai tugas yang diamanatkan oleh UU SPPA, maka dalam mengimplementasikannya harus memiliki tiga landasan, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis.
Landasan filosofis adalah filsafat atau pandangan hidup sesuatu bangsa yang berisi nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tersebut. Moral dan etika pada dasarnya adalah nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik. Nilai yang baik adalah pandangan dan cita-cita dijunjung tinggi yang mengandung nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan, dan berbagai nilai lainnya yang dianggap baik. Pengertian baik, benar, adil, dan susila tersebut menurut takaran yang dimiliki bangsa yang bersangkutan. Menjalankan tugas sebagai Pembimbing Kemasyarakatan yang baik harus berdasarkan kepada semua itu. Jika tugas mulia PK untuk memberikan kepentingan terbaik bagi Anak tanpa memperhatikan moral bangsa akan sia-sia dalam implementasinya.
Adapun landasan sosiologis tugas PK apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar tugas PK yang terdapat dalam UU SPPA dapat diterima oleh masyarakat secara luas. Sedangkan landasan yuridis adalah landasan hukum yang menjadi dasar kewenangan tugas yang diemban oleh PK. Apakah kewenangan pejabat fungsional PK mempunyai dasar hokum yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan atau tidak, karena dasar hukum sangat diperlukan sebagai justifikasi tugas PK. Jika tugas PK berlandaskan ketiga landasan tersebut maka akan tercipta suatu tugas yang mengandung kemanfaataan, keadilan dan kepastian hukum dan dapat diimplementasikan dalam masyarakat.
Salah tugas PK yang berhubungan erat dengan kepentingan terbaik bagi Anak adalah membuat Penelitian Kemasyarakatan (disingkat Litmas). Berdasarkan Pasal 60 ayat (4) UU SPPA, jika Hakim tidak mempertimbangkan laporan hasil litmas dalam putusannya, maka implikasinya putusan tersebut menjadi batal demi hukum. Menurut Sambas, Anak yang berhadapan dengan hukum yang melewati tahapan-tahapan proses hukum tanpa kehadiran pendamping salah satunya PK Bapas, cenderung terjerumus kembali kedalam pelanggarannya baik itu pelanggaran yang sama maupun pelanggaran yang berbeda.
Secara umum, peran PK Bapas dalam restorative justice menjadi 3 tahap yaitu tahap pra-adjudikasi (penyidikan), tahap adjudikasi (penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan) dan tahap post adjudikasi (pembimbingan dan pengawasan).[3] Berdasarkan beberapa hal tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa peran dan fungsi PK dalam menangani perkara Anak yang berhadapan dengan hukum sangat penting untuk mencapai tujuan sistem peradilan pidana Anak yaitu untuk mewujudkan peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan terbaik bagi Anak yang berhadapan dengan hukum sebagai generasi penerus bangsa.
 Peran penting PK dalam implementasi Restoratif Justice dapat kita lihat dari pernyataan Hawnah Scaft yang menyatakan bahwa tercapainya tujuan peradilan Anak jauh lebih banyak tergantung pada kualitas dari probation officer (petugas  BAPAS) dibandingkan Hakim nya. Peradilan Anak yang tidak memiliki korps pengawasan percobaan yang membimbing dengan bijaksana dan kasih sayang kedalam lingkungan kehidupan Anak dan memberikan petunjuk bagi standar pemikiran yang murni bagi Anak mengenai hidup yang benar, hanyalah mengakibatkan fungsi peradilan Anak menjadi kabur kalau tidak ingin menjadi sia-sia.
 Agar tugas pokok PK Bapas dapat berjalan dengan baik tanpa menemui kendala yang berarti, maka tugas pokok PK Bapas tersebut harus berlandaskan landasan filosofis, sosiologis dan yuridis yang kuat. Dalam tulisan ini akan dibahas apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis dan yuridis tugas Pembimbing Kemasyarakatan dalam implementasi keadilan restoratif.
 Landasan Filosofis
Pancasila sebagai falsafah kenegaraan atau cita negara (staatsidee) berfungsi sebagai filosofiche grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa (titik temu) diantara sesama warga masyarakat dalam tingkah laku kehidupan bernegara dalam kesepakatan pertama penyelenggara konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka. Makna Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka ruang untuk membentuk kesepakatan bersama masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan nilai dasar tersebut.
Pancasila dalam kedudukannya sebagai kristalisasi nilai-nilai yang dimiliki dan diyakıni kebenarannya oleh bangsa Indonesia, telah dirumuskan dalam alinea keempat pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa, memiliki fungsi utama sebagai dasar negara Indonesia. Dalam kedudukannya yang demikian Pancasila menempati kedudukan yang paling tinggi, sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sebagai sumber hukum dasar nasional dalam tata hukum di Indonesia.
Pancasila dalam kedudukannya sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber hukum dasar nasional, menjadikan Pancasila sebagai ukuran dalam menilai hukum yang berlaku di negara Indonesia. Hukum yang dibuat dan berlaku di negara Indonesia harus mencerminkan kesadaran dan rasa keadilan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Hukum di Indonesia harus menjamin dan merupakan perwujudan serta tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan interpretasinya dalam tubuh UUD 1945 tersebut.