Mohon tunggu...
Joni Cyperush
Joni Cyperush Mohon Tunggu... -

Penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bibit yang Tak Berbebet dan Berbobot

12 April 2013   15:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:18 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam budaya Jawa, ungkapan Bibit, Bebet, dan Bobot, acapakali digunakan sebagai patokan, syarat, atau refrensi bagi para orang tua atau keluarga besar dalam memilih pasangan hidup bagi anak-anaknya.

Tiga hal ini menjadi salah satu syarat yang kerap dijadikan pertimbangan para orang tua, dengan tujuan agar kehidupan anak dan turunannya kelak bahagia jika memiliki pasangan hidup yang berbibit, berbobot, dan berbebet.

Bibit berarti; status atau derajat sosial orang tua, apakah masih keturunan priyayi, bangsawan, ulama, pejabat pemerintah atau hanya rakyat biasa tanpa mempunyai status sosial.

Bobot maknanya; adalah potensi dan pendidikan anak termasuk strata ekonomi orang tuanya. Sementara, Bebet bisa diartikan suatu pertimbangan nilai, bagaimana kualitas kepribadiannya, moral, kesetiaan, tanggung jawab, termasuk pertimbangan kualitas moral orang tuanya.

Pengertian Bibit, Bebet, dan Bobot di atas merupakan kultur budaya Jawa dalam mencari jodoh atau pasangan hidup. Nah, pada tulisan ini saya akan aplikasikan ini dalam menentukan atau mencari sosok pemimpin.

Sebagai keturunan Suku Jawa, yang kebetulan juga tinggal di daerah Jawa Tengah, saya melihat pemimpin Jateng saat ini yang kebetulan juga memiliki nama Bibit, ternyata kurang memiliki bebet dan bobot. (ini menurut saya lho, terserah Anda memandang beliau seperti apa..)

Untuk Bebet-nya sebagai seorang gubernur, saya melihat Bibit (Bibit Waluyo-red) kadang kurang bertanggungjawab secara 'moral' dengan melanggar aturan yang disepakati bersama dengan lembaga legislatif (DPRD) dan Eksektuif (Pemprov).

Salah satu contohnya adalah penerapan Perda Nomor 9 Tahun 2012 tentang Bahasa Sastra dan Aksara Jawa. Salah satu amanat dalam perda tersebut adalah kewajiban menggunakan bahasa Jawa setiap Kamis.

Nah, pada saat ada acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Jawa Tengah yang kebetulan digelar pada Kamis, 4 April 2013, Pak Gubernur Bibit Waluyo bersama para pembicara lain terus-menerus menggunakan bahasa Indonesia.

Pak Gubernur baru tersadar akan kewajibannya berbahasa Jawa pada hari Kamis, setelah  salah seorang peserta Musrenbang yang menanyakan kurikulum bahasa Jawa di sekolah. "Oh ya, yen Kamis niku ngendikane bahasa Jawa njih. Nyuwun sewu niki boso Jowo kula kurang lancar," kata Bibit.

Bibit pun melanjutkan perkataan dengan bahasa Indonesia. "Sebenarnya saya bisa berbahasa Jawa, tapi kurang lancar. Berarti ini menyalahi aturan, ya," kata pria yang kembali maju menjadi calon gubernur periode mendatang ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun