Lingkungan Hidup (WALHI) Nusa Tenggara Timur (NTT) menilai Pemerintah Provinsi NTT dianggap tidak mampu menyelesaikan konflik agraria yang akhir -- akhir ini terjadi di masyarakat dan diduga dengan sengaja menciptakan konflik yang bersifat vertikal, antara pemerintah dan rakyat maupun perusahan dan rakyat. Â
KUPANG - WahanaHal ini dikatakan Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, Direktur Eksekutif WALHI NTT melalui rilis resmi WALHI NTT yang diterima media hari ini, Kamis (02/12/2021).
Umbu Wulang Tanaamah Paranggi mengatakan peningkatan jumlah kasus agraria di NTT, berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah investasi yang masuk ke NTT dan eskalasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.
Umbu Wulang Tanaamah Paranggi melanjutkan, beberapa kasus yang mencuat  tinggi dalam 3 tahun terakhir di ruang publik yang terjadi di NTT diantaranya: pertama, kasus agraria yang terjadi di Manggarai Timur yang dengan bersamaan rencana beroperasinya pabrik semen dan tambang batu Gamping oleh PT. Singa Merah di Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur. Kedua, kasus konflik agraria dan hutan adat di Besipae, Timor Tengah Selatan bersamaan dengan rencana pemerintah provinsi untuk mengembangkan perkebunan kelor dan peternakan skala besar di daerah tersebut. Ketiga, kasus agraria dan tempat peribadatan Marapu di Sumba Timur yang bersamaan dengan investasi PT. MSM untuk pabrik gula dan perkebunan tebu. Konflik ini telah mengakibatkan 3 orang Masyarakat Adat di Umalulu dijebloskan ke penjara selama 6 bulan di tahun 2020.
Umbu Wulang Paranggi menuturkan, kasus terbaru yang saat ini terjadi adalah perdebatan panas antara Gubernur Viktor B Laiskodat dengan Umbu Maramba Hau di Sumba Timur mengenai tanah 500 hektar yang diklaim sudah merupakan milik pemerintah provinsi sejak 2001.
"Beberapa konflik diatas adalah fenomena gunung es yang menjelaskan betapa buruknya penanganan tata kelola agraria di NTT baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif hingga distorsinya kelembagaan adat dalam konteks agrarian," kata Umbu Paranggi.
DPRD Mati Angin
Mengkritisi peran DPRD Provinsi NTT dalam melihat kenyataan yang terjadi di masyarakat, WALHI NTT mencatat beberapa kejadian konflik yang terus berulang antara gubernur dan masyarakat akibat dari buruknya sistem tata kelola pemerintahan di provinsi NTT. WALHI NTT secara gamblang menyatakan salah satu faktor utama dari konflik agraria di NTT bisa terjadi karena  DPRD mati angin dalam menjalankan fungsi legislatifnya yang dimandatkan oleh konstitusi dan peraturan perundangan. Fungsi DPRD dalam pengawasan dan penyerapan aspirasi konstituen, tindak tanduk birokrasi eksekutif dan yudikatif dalam konteks kepentingan agraria sama sekali tidak berjalan.
"Dalam catatan WALHI NTT, berbagai kasus agraria yang terus berulang dari tahun ke tahun di NTT ini tidak pernah ditanggapi serius oleh DPRD di ruang persidangan ataupun masa reses," tutur Umbu Paranggi.
 WALHI NTT sebagai lembaga lingkungan hidup mencatat, dari tahun 2018 hingga kini, DPRD Provinsi tidak pernah memanggil gubernur NTT untuk memberikan penjelasan atau klarifikasi tentang berbagai kasus agraria yang melibatkan gubernur NTT dalam upaya menyampaikan kepada publik hasil persidangan DPRD yang membahas tentang kasus agraria yang ada di NTT.
"Banyak kasus agraria di NTT yang menyita perhatian publik menguap begitu saja tanpa penyelesaian yang berarti. DPRD NTT mengabaikan perannya sebagai penyuara aspirasi rakyat dan mitra yang setara dengan gubernur dalam penyelesaian konflik konflik agraria di NTT," ujarnya.***(jf)