Jepang juga menyediakan teknologi lainnya, menggunakan drone untuk mendeteksi orang melalui pencitraan inframerah termal dan memproyeksikannya sebagai siluet tiga dimensi, membantu memastikan lokasi dan kondisi mereka yang membutuhkan pertolongan.
Informasi yang diperoleh dari drone tersebut dibagikan kepada pihak penyelamat, membantu mereka menjangkau para korban. Tidak hanya drone, robot juga diberdayakan untuk melakukan evakuasi dan penyelidikan lokasi berbahaya seperti fasilitas bawah tanah dan interior bangunan
Dari keberhasilan dalam menciptakan ekosistem kesiagaan bencana, kita dapat belajar dari Negeri Jepang bahwa prestasi tersebut dipelopori oleh 3 aspek baik itu dari teknologi, kelembagaan, dan keterlibatan masyarakat pada berbagai skala dan tingkat.
Bagaimana peran teknologi dalam deteksi dan prakiraan bahaya tepat waktu telah direvolusi dengan memanfaatkan superkomputer, satelit dan radar cuaca, serta sistem prakiraan cuaca (sistem Akuisisi Data Meteorologi Otomatis) yang secara otomatis mengirimkan data hidrometeorologi dari 1.300 stasiun ke Badan Meteorologi Jepang. Teknologi ini juga didukung dengan penggunaan superkomputer "Fugaku" dengan model prediksi 3D telah secara tepat memprediksi terjadinya hujan badai.
Namun, penggunaan teknologi dirasa belum cukup dan harus dikombinasikan dengan koordinasi antarlembaga terkait seperti koordinasi yang kuat antara Badan Meteorologi Jepang, lembaga lokal dan regional (seperti departemen lokal dan prefektur) membantu memberikan peringatan yang tepat waktu dan jelas pada skala lokal. Sistem Peringatan Darurat ini memberdayakan kelancaran koordinasi antara pihak berwenang dan masyarakat dengan memastikan evakuasi cepat dan memobilisasi sumber daya dengan cepat untuk menyebarkan informasi ke departemen terkait
J-Alert menjadi contoh yang pas dalam kasus ini dimana sistem peringatan dini berbasis satelit di Jepang ini memungkinkan pihak berwenang dengan cepat menyiarkan peringatan ke media lokal dan pusat-pusat komunitas.
Dari fakta ini, kita semakin mengerti bahwa tidak hanya teknologi dan koordinasi antarlembaga, namun masyarakat yang menjadi subjek dengan populasi paling banyak di suatu negara harus paling dilibatkan melalui komunitas-komunitas yang terbentuk.
Pendekatan Jepang dalam mengembangkan sistem peringatan dini yang berpusat pada masyarakat mendorong partisipasi lokal dengan menerapkan program BOSAI (kesiapsiagaan dan tanggap bencana) di tingkat lokal, regional, dan nasional untuk mengembangkan masyarakat yang berketahanan dan tanggap akan bencana.
Platform ini menjangkau lintas industri dengan memanfaatkan kemitraan publik-swasta-akademik (lebih dari 100 anggota dari berbagai industri) untuk mendukung pengurangan risiko bencana di Jepang. Namun tidak lupa untuk sampai pada peran masyarakat, dibutuhkan pengakuan politis atas penerapan sistem peringatan dini sebagai langkah adaptif yang konkrit
Pembelajaran Bagi Pemerintah Indonesia
Apabila kita melihat keberhasilan Jepang dalam melakukan kesiagaan bencana membutuhkan 3 aspek teknologi, kelembagaan, dan keterlibatan masyarakat. Indonesia masih harus membenahi untuk seluruhnya bagaimana dari sisi teknologi, sistem deteksi dini bencana Indonesia masih jauh tertinggal dalam penggunaan teknologi. Di sisi lain koordinasi antarlembaga yang dibutuhkan untuk keberhasilan program deteksi dini masih terhalang oleh ego sectoral masing-masing lembaga pemerintah utamanya, untuk mengidentifikasi potensi bencana pada lintas sektor