Mohon tunggu...
吳明源 (Jonathan Calvin)
吳明源 (Jonathan Calvin) Mohon Tunggu... Administrasi - Pencerita berdasar fakta

Cerita berdasar fakta dan fenomena yang masih hangat diperbincangkan

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Hikikomori, Pelampiasan atas Kegagalan

26 Februari 2018   00:52 Diperbarui: 28 Februari 2018   18:57 1092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Negara Jepang merupakan salah satu negara adidaya dengan sejuta inovasi yang tersimpan di dalamnya. Namun, dibalik seluruh inovasi yang dihasilkan, anak-anak muda di Jepang menyimpan budaya yang cukup unik bahkan bisa dikatakan gila, Hikikomori namanya.

Berdasarkan etimologinya, Hikikomori berasal dari 2 kata dalam Bahasa Jepang, Hiki yang berarti menarik diri dan komoru yang berarti beristirahat sejenak dari hiruk pikuk dunia. Berdasarkan survey yang dilakukan pemerintah Jepang, lebih dari 541.000 anak muda di Jepang dengan rentang umur dari 15 tahun hingga 39 tahun dan biasanya fenomena Hikikomori lebih banyak dialami oleh kaum adam. (80% dialami oleh kaum adam).

Tingginya standar kerja yang diterapkan oleh masyarakat Jepang turut andil dalam fenomena Hikikomori dikarenakan kegagalan saat kerja dapat meruntuhkan kepercayaan seseorang pada dirinya sendiri bahkan kepada lingkungan sekitarnya sehingga banyak anak muda pelaku dari Hikikomori menganggap berdiam dan mengurung diri di rumah sebagai "pelarian" atas kegagalan yang dialaminya.

Menurut Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Buruh Jepang, seseorang yang dikatakan mengalami fenomena Hikikomori adalah mereka yang mengurung diri di rumahnya dan tidak berinteraksi dengan siapapun selama kurang lebih 6 bulan. Menurut Takahiro Kato (Psikiater Mental di Kyushu University), fenomena Hikikomori dapat menjadi awal terjadinya depresi dan kegelisahan. 

Kato juga menambahkan bahwa budaya orang Jepang yang lebih berharap banyak pada laki-laki menjadi penyebab mengapa fenomena Hikikomori lebih banyak dialami oleh laki-laki. Di sisi lain, budaya Hikikomori juga kemungkinan diadaptasi mitos Agama Shinto (agama mayoritas masyarakat Jepang), dimana dalam salah satu kisahnya, Dewi Amaterasu mengasingkan dirinya setelah gagal membina hidup yang lebih baik dengan pasangannya. Di dalam kisah nyata, pengasingan juga dialami oleh Putri Masako akibat depresi sekitar tahun 1963

Sekiguchi Hiroshi (Kepala Klinik Bunko Kokoro no)menjelaskan, Hikikomori adalah bentuk perasaan malu yang mendalam akibat perasaan akan ketidakmampuan dalam bekerja seperti orang lainnya. Seseorang yang mengalami Hikikomori merasa dirinya tidak berharga, tidak layak untuk mendapat kebahagiaan, bahkan dan menyesal akibat tidak dapat memenuhi ekspektasi orangtua.

Menurut Michael Zielenziger, Hikikomori tidak dapat dikategorikan sebagai Schizoprenia ataupun Agorafobia (ketakutan akan tempat ataupun situasi yang dapat membuat panik). Richard Lloyd Parry juga menyebutkan bahwa Hikikomori merupakan suatu bentuk penolakan terhadap pendidikan.

Wajar saja apabila Hikikomori dikatakan sebagai bentuk penolakan terhadap dunia pendidikan, hal ini berawal dari tingginya ekspektasi para orangtua di Jepang pada anaknya. Memang bukan hal yang salah dengan tingginya ekspektasi, hanya saja disayangkan tingginya ekspektasi juga dibarengi dengan ketatnya ujian seleksi sebelum memasuki dunia sekolah dasar, waktu belajar 18 jam dalam sehari dan dilakukan selama 7 hari dan bullying.

Tingginya ekspektasi tersebut berawal dari sejarah panjang yang bermula dari kekalahan Jepang setelah Perang Dunia ke-II. Bagi Pemerintah Jepang, kekalahan tersebut merupakan suatu hinaan yang berakibat perubahan secara besar-besaran di berbagai bidang terutama terkait urbanisasi, perpindahan penduduk, dan juga bidang industri. Perubahan di berbagai bidang inilah yang biasa kita kenal sebagai Restorasi Meiji. Akibat perubahan tersebut, terjadi penggelembungan ekonomi yang berakibat pada harga barang yang meningkat secara signifikan pada periode 1980-an. Hal inilah yang diduga mengawali fenomena Hikikomori.

Saat ini, untuk mengatasi fenomena Hikikomori dibentuk beberapa komunitas diisi oleh sukarelawan yang dapat  menjadi tempat pengidap Hikikomori untuk bersosialisasi. Kegiatan lainnya yang dilakukan sukarelawan adalah mengunjungi rumah para pengidap Hikikomori guna mendengarkan kisah dari mereka. Untuk semakin mengetahui kasus Hikikomori di berbagai belahan dunia, dibentuklah Hikikomori Shimbun yang menjadi ajang berbagi cerita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun