Mohon tunggu...
Jonathan Susanto
Jonathan Susanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Prodi Pendidikan Sosiologi UNJ

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gelombang Korea sebagai Pelarian di Tengah Realita yang Makin Kompleks

16 Juni 2023   13:59 Diperbarui: 16 Juni 2023   14:07 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak tahun 1990an, negara-negara di dunia telah mengalami perkembangan eksponensial dalam konektivitas internal dan eksternal. Diawali dengan perkembangan pesat dalam teknologi komunikasi dan komersial berbasis digital, globalisasi telah menjadi standar bagi masyarakat mengingat populasi dunia yang terus bertambah menuntut integrasi lebih erat pada ekonomi dunia guna mencari pasar. Hal ini menjadi prekondisi yang cocok bagi Korea Selatan untuk mempromosikan budayanya, lantaran berkat pengaruh Amerika Serikat Korea Selatan menjadi negara yang terindustrialisasi dan sekuler dalam budayanya. Hal ini sangat berkontribusi pada kemampuan Korea Selatan untuk mengkomodifikasi dan mempromosikan budayanya.

Berkembangnya budaya populer Korea biasa disebut sebagai Korean Wave atau Hallyu. Hallyu dianggap telah dimulai pada tahun 1999 ketika jurnalis dari China pertama kali menciptakan istilah Hallyu Wave, yang merujuk pada dirilisnya beberapa drama TV dan film yang mendapatkan popularitas di negara-negara Asia di luar Korea Selatan. Di antaranya adalah drama-drama terkenal seperti Autumn in My Heart, Winter Sonata, dan My Sassy Girl. Namun, di balik nilai hiburan tersebut terdapat hubungan sosiologis yang kompleks yang terjalin dengan kapitalisme dan psikologi. 

 Salah satu fitur menonjol dari budaya populer Korea adalah penekanannya pada estetika. Industri hiburan Korea dengan cermat membuat dan menampilkan citra artis, baik itu penampilan fisik, pilihan mode, atau penampilan secara keseluruhan. Estetika manusia ini berdampak signifikan pada persepsi dan keinginan individu, baik di Korea Selatan maupun secara global. Di dalam negeri, hal ini berdampak pada konformisme yang ekstrim lantaran banyak individu yang menggunakan jasa operasi plastik guna mencapai 'standar' kecantikan yang umum di masyarakat Korea Selatan, dan di luar negeri pria dan wanita Korea Selatan menjadi role model bahkan kadang-kadang sebagai objek fetish. 

Hal ini sangat mengkhawatirkan lantaran aspek kemanusiaan dari budaya telah dikerdilkan sedemikian rupa sehingga idola tersebut tidak dilihat lebih tinggi dari sekedar gambar atau patung. Bahkan, sebagai bagian dari produsen budaya itu sendiri para idol, model, dan artis digital yang dipekerjakan kerap kali dieksploitasi secara berlebihan sehingga banyak yang keluar dari industri tersebut bahkan sampai bunuh diri lantaran tidak sanggup mengayomi tuntutan produser dan penggemar. Banyak juga pelecehan yang dialami orang-orang tersebut dari pihak produser dan penggemar.

Tren ini sejalan dengan konsumerisme dan komodifikasi estetika. Industri hiburan memanfaatkan keinginan manusia untuk menikmati dan mencapai citra ideal yang digambarkan oleh selebriti Korea. Konsumen dibuat 'ketagihan' dengan faktor psikologis seperti FOMO (Fear of Missing Out). Kapitalisme melanggengkan dan mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari keinginan individu untuk berbaur dengan standar kecantikan Korea, sehingga kepentingan ekonomi membentuk norma dan harapan sosial.

Selain itu, budaya populer Korea memberikan pelarian dari realitas duniawi kehidupan sehari-hari. Melalui K-drama, musik, dan bentuk hiburan lainnya, individu membenamkan diri dalam narasi yang menarik dan karakter yang dapat diterima. Faktor pemikat pelarian tersebut terletak pada kemampuan untuk sementara menutup diri dari kendala dan penyebab stres dari keadaan kehidupan nyata.

Secara psikologis, eskapisme menawarkan suatu bentuk katarsis yang dipicu oleh hiburan. Orang-orang mencari pelepasan emosi dalam narasi fiksi yang membawa mereka ke dunia yang berbeda dari dunia mereka sendiri. Keinginan untuk melarikan diri dari kehidupan normal ini tidak terbatas pada budaya Korea saja, melainkan juga mencerminkan pencarian kepuasan emosional. Industri hiburan Korea memanfaatkan kebutuhan psikologis ini, menyediakan serangkaian konten yang beresonansi dengan individu pada tingkat yang sangat pribadi sehingga individu merasa berharga sebagai penggemar.

Budaya populer Korea telah berkontribusi banyak pada Korea Selatan, berkontribusi pada pengaruh politik dan ekonominya di seluruh dunia berkat timbal balik positifnya pada industri manufaktur dan tekonologi. Saat Hallyu Wave menyebar, begitu pula pengaruh negara tersebut dalam skala global. Ekspor produk budaya, seperti musik K-pop, drama Korea, dan film, tidak hanya mendongkrak ekonomi negara tetapi juga meningkatkan posisi diplomatiknya.

Maka apabila dikaitkan dalam konteks teori dari Jean Baudrillard, munculnya tren budaya Korea mencerminkan sifat hiperreal masyarakat kontemporer. Penggemar dan konsumen hiburan Korea sering terlibat dengan realitas yang dikonstruksikan sebagai simulacrum, representasi yang tidak mengacu pada realitas eksternal. Sebagai contohnya, popularitas grup K-pop melampaui musik itu sendiri dan itu terjadi berkat image dari rangkaian penampilan, visual, dan kepribadian yang dibangun dengan hati-hati oleh agensi tersebut. Pengalaman hiperrealita tersebut makin diperkuat melalui platform media sosial, di mana penggemar terlibat dalam komunitas dan interaksi online yang intens, mengaburkan batas antara dunia fisik dan dunia virtual.

Selanjutnya, penyebaran global tren budaya Korea menyoroti pengaruh hiperrealitas dalam membentuk persepsi dan keinginan. Sifat hyperreal dari hiburan Korea menghasilkan daya tarik dan pelarian, menawarkan penonton realitas alternatif yang beresonansi dengan keinginan dan aspirasi mereka. Dalam konteks ini, Korean Wave menjadi alat yang ampuh untuk simulasi dan penyebaran pengalaman hiperreal, karena penonton di seluruh dunia merangkul dan mengonsumsi simulasi ini sebagai bentuk katarsis yang diinduksi oleh hiburan.

Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun