Indonesia, merupakan negara yang berpenduduk sekitar 270 juta jiwa lebih dan memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Karena perbedaan inilah, Indonesia masih dilanda dengan permasalahan yang tak kunjung selesai seperti masih adanya sikap masyarakat yang stereotip, intoleran, dan sejenisnya. Karena hal itu, Indonesia menjadi negara yang cukup “subur” untuk bertumbuhnya bibit-bibit radikalisme untuk memecah persatuan bangsa dengan aksi-aksi terorisme yang membuat timbulnya perpecahan antar golongan. Secara umum, radikalisme merupakan paham atau ide-ide dan perilaku yang menghendaki perubahan mendasar dan revolusioner di bidang sosial, politik, dan pemerintahan yang dilakukan dengan menggunakan cara-cara kekerasan atau aksi-aksi yang ekstrim untuk menjustifikasi keyakinan personal atau kelompok. Oleh karena itu, biasanya radikalisme dipakai untuk melakukan perubahan mendasar kepada status quo melalui cara-cara kekerasan oleh suatu individu maupun kelompok.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa radikalisme cukup erat hubungannya dengan aksi terorisme karena sebagian besar radikalisme mencapai tujuannya dengan menjalankan aksi-aksi teror di masyarakat. Terorisme sendiri merupakan penggunaan kekerasan atau ancaman untuk mengintimidasi atau memaksakan kehendak khususnya untuk kepentingan politik. Jadi, radikalisme merupaka tata cara atau sikap seseorang dalam mengungkapkan keberagamannya, sedangkan terorisme masuk kedalam aksi kriminal untuk kepentingan politik. Namun, tidak semua dan tidak selamanya radikalisme berujung aksi terorisme, walaupun radikalisme selalu menjadi tahap sebelum aksi terorisme.
Terkait Radikalisme dan Terorisme di Indonesia, akhir-akhir ini telah terjadi aksi terorisme yang diakibatkan dari paham-paham radikalisme maupun doktrin-doktrin negatif lainnya. Peristiwa yang pertama, terjadi sebuah penyerangan dengan bom bunuh diri di kawasan Gereja Katedral Makassar dan yang kedua adalah penyerangan Mabes Polri yang dilakukan dengan melakukan penodongan dan penembakan.
Kedua kasus tersebut diakibatkan oleh seseorang yang tidak memiliki nalar kritis dalam menilai atau menjudge sesuatu yang orang lain katakan. Karena mereka terlalu berpatok kepada suatu pandangan negatif tanpa mereka sadari bahwa pandangan tersebut salah. Tetapi karena pandangan tersebut berasal dari kesalahan dalam penafsiran ajaran agama yang diajarkan oleh oknum-oknum radikalisme, membuat seseorang yang sudah menerima paham-paham radikalisme akan sulit dalam berpikir bahwa hal itu salah ataupun benar, karena pikiran mereka sudah didoktrin oleh oknum-oknum tersebut.
Francis Bacon, seorang filsuf dari Inggris menyatakan bahwa, ada empat doktrin negatif yang bisa menghambat kemajuan peradaban manusia. Seperti, ketidakmampuan memandang suatu hal secara objektif (Idol of The Tribe), terjebak dengan pengalaman pribadi (Idol of The Cave), percaya terhadap kata-kata atau keyakinan tanpa disertai nalar yang kritis (Idol of The Forum/Marketplace), dan kepercayaan kepada hal-hal mistis yang diturunkan secara turun-temurun (Idol of The Theatre). Dalam kasus tersebut, bisa kita lihat bahwa aksi terorisme yang terjadi kemarin merupakan contoh nyata dari seseorang yang percaya akan keyakinan atau kata-kata tanpa disertai nalar yang kritis (Idol of the Forum/Marketplace). Akibat yang dihasilkan dari doktrin tersebut merupakan yang paling berbahaya daripada yang lainnya. Oleh karena itu, seseorang yang telah terpapar ajaran radikalisme akan sulit disadarkan oleh siapapun.
Biasanya ajaran radikalisme selalu mengatasnamakan ajaran agama tertentu atau bisa disebut sebagai radikalisme agama. Dapat kita lihat kembali pada kedua aksi terorisme yang terjadi kemarin, berdasarkan surat wasiat para pelaku dapat disimpulkan bahwa aksi mereka didasari oleh paham dan hasil dari radikalisme agama. Radikalisme agama pada umumnya merujuk kepada fondasi agama yang sangat mendasar dengan spirit atau semangat fanatisme yang sangat tinggi, sehingga menggerakkan para penganut pahamnya untuk melakukan tindak-tindak kekerasan untuk mencapai tujuannya. Jadi, oknum-oknum atau kelompok radikal kerap menggunakan agama sebagai alat pembenaran atas semua tindakannya, mereka mengklaim bahwa agama dan kelompoknya adalah yang paling benar, sedangkan paham lainnya adalah salah.[1] Oleh karena itu, orang yang terpapar radikalisme agama akan melakukan hal-hal apapun demi merealisasikan paham radikalisme (agama) yang dianutnya, seperti aksi-aksi terorisme yang berupa bom bunuh diri, penyerangan, dan sejenisnya.
Menurut Penulis, dengan adanya radikalisme agama yang berujung aksi-aksi teror, akan berakibat, munculnya masyarakat yang menganggap agama tertentu terpapar radikalisme dan memandangnya dengan paradigma yang buruk. Lalu bisa saja menyebabkan perpecahan diantara masyarakat. Karena, seperti yang sudah dijelaskan diawal tadi, Indonesia merupakan negara padat penduduk yang majemuk, dalam artian terdiri dari agama yang berbeda-beda. Hal tersebut akan menimbulkan perpecahan antar golongan di masyarakat. Itulah mengapa Indonesia merupakan ladang yang subur bagi pertumbuhan bibit-bibit radikalisme yang berujung terorisme, karena latar belakang Indonesia yang berbeda-beda dapat lebih mudah untung dipecah- belah. Oleh karena itu, tujuan dari kelompok-kelompok tersebut adalah memecah persatuan negara agar terciptanya negara baru yang sesuai dengan paham dan tujuan mereka.
Faktor-faktor penyebab timbulnya paham radikalisme di Indonesia yang berujung aksi terorisme cukup beragam. Yang pertama adalah sikap masyarakat intoleran, seperti yang sudah dijelaskan bahwa Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri dari latar belakang yang berbeda-beda. Masyarakat yang intoleran akan memandang orang-orang yang berbeda (dalam konteks paham, agama, ras, etnik, dan golongan) adalah salah, dan mereka cenderung akan memaksa atau bahkan melakukan kekerasan untuk mencapai atau mempertahankan pahamnya. Orang yang intoleran akan cenderung mudah untuk direkrut ke dalam kelompok radikalisme karena akan sangat mudah dipengaruhi dan cenderung memiliki paham yang sama, karena radikalisme selalu menggunakan kekerasan dan menganggap orang yang berbeda paham dengannya adalah salah.
Lalu faktor penyebab yang kedua adalah, kurangnya nalar kritis yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Kebanyakan dari masyarakat menilai sesuatu hanya dari satu sisi saja dan cenderung mudah percaya kepada kata-kata orang lain. Dan mereka yang kurang memiliki nalar yang kritis akan cenderung salah menafsirkan suatu paham maupun ajaran tertentu. Hal inilah yang sebenarnya menjadi kunci utama dalam tumbuhnya bibit-bibit radikalisme yang berujung aksi terorisme di Indonesia.
Dari dahulu hingga sekarang banyak yang menyatakan bahwa, munculnya paham radikalisme dan terorisme yang utama dikarenakan oleh faktor ekonomi. Namun, bila kita melihat para pelaku aksi terorisme yang kaya raya dalam artian berkecukupan seperti, Usama Bin Laden, dan Dita sekeluarga (pelaku pemboman Surabaya, 2018 lalu). Dan banyak pula orang yang mohon maaf kekurangan dalam ekonomi di Indonesia yang tidak terlibat dalam radikalisme dan aksi terorisme. Oleh karena itu, menurut saya penyebab utama tumbuhnya radikalisme di Indonesia yang berujung aksi terorisme disebabkan oleh kurangnya nalar kritis yang dimiliki oleh masyarakat dan kesalahan dalam menafsirkan suatu paham atau ajaran.
Upaya pemerintah sendiri dalam mencegah dan menanggulangi bibit-bibit radikalisme yang tumbuh di Indonesia sebenarnya cukup masif dilakukan. Diketahui bahwa, pemerintah menerapkan tiga kebijakan untuk menangani tumbuhnya bibit-bibit radikalisme di Indonesia yang berujung aksi terorisme. Kebijakan yang pertama adalah dengan menerbitkan aturan tentang Teroris Lintas Batas yang di mana dapat mencabut status kewarganegaraan Warga Negara Indonesia (WNI) yang tergabung dengan organisasi maupun kelompok terorisme yang berada di luar negri. Hal ini tentunya akan mempersulit seseorang WNI yang bergabung dalam organisasi terorisme diluar sana ketika ingin pulang ke Indonesia untuk menjalankan aksi teror. Karena status WNI orang tersebut otomatis akan lenyap dan tidak bisa masuk ke Indonesia sembarangan. Namun, kebijakan seperti ini sebenarnya tidak terlalu efektif di mana adanya keterbatasan pemerintah, menyebabkan mereka tidak akan mengetahui siapa-siapa saja yang tergabung dengan kelompok terorisme diluar sana, mengingat sebagian besar pergerakan para anggota kelompok terorisme dijalankan dengan rapi dan terstruktur.