Â
Â
Lahan gambut merupakan salah satu ekosistem penting dari puluhan macam ekosistem yang tersebar di seluruh nusantara. Terbukti dari luasannya yang pernah mencapai 20,6 juta (1995) hektar atau setara dengan 10,8 persen dari luas seluruh daratan Indonesia. Nilai tersebut juga mencakup lebih dari separuh luasan gambut tropika yang ada di dunia. Saking luasnya, sehingga Indonesia menurut peringkat dunia berada di posisi ke-4 untuk negara dengan lahan gambut terbesar. Terbentuk selama ribuan tahun, gambut merupakan ekosistem dengan keanekaragaman hayati yang khas, dan wajib dijaga kelestariannya.
Lahan gambut memiliki karakter yang unik, akibat terbentuk murni dari proses transportasi dan disposisi sisa bahan organik, yang kemudian terhambat proses dekomposisinya dan mengalami akumulasi / presipitasi di rawa, pantai, atau topografi berbentuk cekungan. Proses penumpukan dalam waktu yang panjang mengakibatkan ketinggian gambut terus bertambah sehingga membentuk kubah (dome) setinggi 50 cm atau lebih. Proses dekomposisi gambut berlangsung sangat lambat akibat selalu tergenang air sehingga menjadi bebas oksigen atau anaerob, dan ketersediaan mikroorganisme pendekomposer menjadi kecil. Berbeda dengan tanah mineral yang pembentukannya terjadi akibat proses pelapukan (fisik, biologis, kimia), pencucian (leaching), dan proses pedogenik lainnya.
Ekosistem gambut sangatlah penting karena memiliki berbagai fungsi : hidrologis, yaitu kaitannya dengan kemampuan menyimpan air yang sangat besar, sehingga ketika musim hujan, air limpasan atau runoff dapat tersimpan dalam lapisan gambut. Dalam kondisi optimal, lahan gambut dapat menyimpan air sebanyak 0,8-0,9 m3/m3, atau dalam angka persen, 1 m3 gambut terdiri dari 80-90% air. Menurut Nugroho, 1997, tanah gambut yang secara notabene memiliki berat jenis (bulk density) rendah mampu menyimpan air sebesar 200 – 800 % dari bobotnya. Maka dalam hal ini, lahan gambut dapat dikatakan sebagai reservoir air raksasa, dan sebagai pengatur debit air selama bulan basah dan kering. Selain itu gambut memiliki peran penting sebagai pengendali iklim secara global, akibat perannya sebagai deposit karbon yang sangat besar. Rata-rata, lahan gambut Indonesia dapat menyimpan 46 Gigaton karbon atau setara dengan 8-14% kemampuan deposit karbon lahan gambut global. Bayangkan, betapa besarnya emisi karbon yang dapat disimpan. Secara ekologis, gambut juga memiliki peran dalam mempertahankan keanekaragaman hayati, sebagai habitat yang sangat baik untuk banyak spesies ikan, tumbuhan, dan satwa endemic yang dilindungi undang-undang.
Namun di balik keunggulan dan manfaatnya yang begitu besar, gambut memiliki tingkat kerapuhan yang tinggi. Sangat mudah untuk terdegradasi akibat pengelolaan yang salah. Gambut memiliki sifat spesifik yang berbeda dari tanah mineral, sebagai contoh sifat irreversible, atau tidak dapat balik. Berbeda dengan spons yang masih dapat menyimpan air setelah dikeringkan, gambut setelah didrain akan mengalami penyusutan, dan tidak dapat menyerap air kembali. Selain itu, apabila dikeringkan sifat gambut berubah dari hidrofilik (suka air) menjadi hidrofobik (tidak suka air), sehingga tidak dapat menyerap air seperti sedia kala. Karena kondisi kering, oksigen masuk ke dalam bahan  induk melalui lubang kapiler, dan memacu mikroorganisme untuk hidup dan mendekomposisi bahan organik secara lebih cepat, sehingga gambut menyusut. Maka terjadilah penurunan permukaan lapisan (subsidien) dan gambut menjadi kempes.
Bahaya lain muncul dari tereksposenya pirit. Lahan gambut biasanya terbentuk di atas lapisan lempung marin (kapur). Komponen pembentuk lempung kapur tersebut adalah pirit atau FeS2. Pada kondisi tergenang, pirit tidak akan membahayakan. Namun pada kondisi kering atau didrain dengan sengaja, pirit teroksidasi sehingga senyawa sulfidik seperti asam sulfat dan senyawa besi terbentuk. Akibatnya, lahan gambut menjadi toksik, sehingga  menjadi tidak produktif untuk aktivitas pertanian.
Selain itu karbon yang tersimpan akan teroksidasi menjadi CO2 dan berubah menjadi emisi karbon bebas yang lepas ke udara. Karbon pada gambut kering apabila terkena paparan sinar matahari akan sangat mudah terbakar, sehingga kebakaran vegetasi yang ada di atasnya tidak dapat dihindari. Lahan gambut rata-rata menyimpan 3.300-4.400 ton karbon per hektarnya, maka dapat dibayangkan bahwa lahan gambut ibarat bom waktu emisi karbon dunia. Ancaman terpaparnya berjuta ton asap pekat ke udara dan efek pemanasan global semakin menjadi. Tingkat kebakaran akan bertambah, jika nyala api telah mencapai lapisan bawah, sehingga bara api akan semakin sulit dipadamkan. Sehingga dapat disadari betapa kita harus berhati-hati dalam mengelola lahan gambut.
Pada dasarnya, proses drainase lahan gambut dilakukan sebagian besar oleh aktivitas manusia, terutama untuk kepentingan pembukaan lahan pertanian oleh masyarakat, perkebunan, atau HTI, dan kesalahan dalam tata kelola pengairan untuk pertanian. Bisa juga akibat pemilihan metode atau pola tanam pada usaha pertanian yang kurang cocok untuk karakter gambut. Selain itu cara pembukaan lahan dengan dibakar tanpa pengendalian (karena jauh lebih murah) marak dilakukan, sehingga sangat mengancam eksistensi dari lahan gambut. Â Proses deforestasi yang begitu menggila sejak awal tahun 1970-an untuk mendukung berbagai industri nasional, menghabiskan setengah tutupan lahan gambut Indonesia, sehingga pada tahun 2010 tinggal 10 juta ha saja. Pada tahun 1997, kebakaran hutan gambut terjadi besar-besaran dan melepaskan 156,3 juta ton emisi karbon dan 5 juta ton partikel debu (data ADB). Di tambah lagi fenomena El Nino yang lebih panjang, seperti pada tahun 2006 silam, membuat musim kemarau menjadi lebih panjang, memicu munculnya 40.000an titik api di seluruh lahan gambut Nusantara, dan membakar habis gambut secara cepat. Di tahun 2015 ini, kerugian akibat kebakaran lahan semakin nyata, terbukti kerugian ekonomi telah diprediksi mencapai Rp 20 Trilyun, untuk wilayah Riau saja (data BNPB).
Menilik kerusakan ekosistem gambut yang semakin parah, pemerintah harus dapat sekerasnya melakukan peninjauan ijin terhadap penggunaan lahan gambut. Harus melalui kajian evaluasi lingkungan dan analisis RTRW yang terpadu. Mencabut ijin penggunaan lahan secara langsung wajib dilaksanakan, seandainya dalam kajian ada usaha yang lebih memberi dampak kerusakan dibanding keuntungan. Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) sudah semestinya menjadi menjadi usaha terdepan untuk mengevaluasi dampak lingkungan terhadap penggunaan suatu lahan. Walaupun AMDAL telah diwajibkan dalam hukum dan peraturan perundang-undangan, tidak semua pihak mematuhinya. Bahkan, publikasinya pun kurang dan dirasa tidak transparan. Oleh karena itu, perlu dibentuk suatu badan atau usaha pengoptimalan kinerja badan yang mampu melakukan pemantauan terhadap proses pelaksanaan AMDAL.Â
Dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup sudah memuat aturan-aturan serta sanksi bagi perusak lingkungan. Sebagai pelengkap, perlu diperkuat dengan adanya Peraturan Daerah bagi daerah-daerah yang rawan terjadi kebakaran. Sayangnya, masih ada peraturan daerah yang berpihak pada tindakan pembakaran, contoh perda Kalimantan Tengah yang masih memberikan izin pembakaran lahan mulai dari 1 hingga 100 hektar. Maka dari itu peninjauan kembali akan peraturan perundang-undangan daerah harus senantiasa dilakukan dan disesuaikan dengan kondisi sekarang ini.