Dalam UU No.71 tahun 2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem lahan gambut, telah diberlakukan sanksi tegas bagi siapapun yang melakukan pengerusakan ekosistem gambut. Peraturan yang terkandung dalam UU tersebut, harus dapat dimengerti oleh seluruh komponen masyarakat yang bergelut di sekitar lahan gambut, melalui sosialisasi secara menyeluruh. Pada dasarnya, regulasi dan instrumen penegak hukum terhadap pelaku perusakan ekosistem gambut sudah jelas, namun praktek penegakannya masih minim. Penegakkan belum sampai ke pelaku utamanya, alias para stakeholder korporasi besar. Terbukti setiap tahunnya banyak oknum lokal dipidana akibat pengerusakan, namun hingga saat ini kebakaran masih terus merajalela.
Selain itu untuk menanggulangi kerusakan gambut, hendaknya para stakeholder yang memiliki kompetensi melaksanakan usaha-usaha konservasi teknis yang ditawarkan. Contoh : dengan menanam tanaman bervarietas adaptif terhadap lingkungan gambut (evapotranspirasi rendah), membangun sistem tata air / hidrologi yang baik, sehingga kelembaban lahan tetap terjaga. Â Tidak terlalu jenuh air pada saat musim hujan, dan air tetap tertampung / tidak kering saat musim kemarau. Â Â Â
Di tengah bencana kabut asap seperti ini, seharusnya menjadi bahan perenungan bagi kita semua, bahwa alam pada dasarnya menuntut terjadinya keseimbangan. Ketika eksploitasi dilakukan tanpa perhitungan dan tanggung jawab, alam dapat berontak dan berbalik merusak umat manusia.
JONATHAN DE SANTO, Mahasiswa Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H