"Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely", ungkapan tersebut merupakan pernyataan yang ditulis oleh John Dalberg-Acton (1834-1902), seorang politisi Inggris, dalam surat kepada rekannya, Uskup Mandell Creighton. John Dalberg Acton, atau lebih dikenal sebagai Lord Acton, membuat ungkapan populer tersebut kala ia berargumen dengan rekannya mengenai korupsi yang terjadi dalam otoritas Gereja Katolik abad pertengahan. Lord Acton berpendapat bahwa kejahatan sejumlah paus Roma di masa lalu tidak dapat diabaikan, bahkan dengan memakai dalih moral relativism sekalipun. Baginya, kesalahan-kesalahan tokoh otoritas masa lalu selalu wajib dikritisi terlepas dari jiwa zamannya, dan semua manusia harus dinilai berdasarkan standar moral yang universal. Kemudian, dia membuat pernyataan lainnya bahwa "great men are almost always bad men...", merujuk pada pendapatnya bahwa orang-orang yang menduduki kursi otoritas (holders of power) cenderung pernah, sering, dan akan melakukan kelaliman dalam rangka meraih serta mempertahankan kekuasaan (Acton, 1887).Â
Berdasarkan deskripsi singkat mengenai dua ungkapan Lord Acton, muncul suatu masalah mengenai relasi antara manusia dan idealismenya, dengan politik sebagai "masalah kekuasaan, otoritas, serta konflik" (Nambo, 2005). Â Bila melihat hubungan antara tindakan politik dengan konsep kekuasaan, yang dimaknai oleh Max Weber dalam dua pengertian, yaitu kuasa sebagai kekerasan (macht) dan kuasa sebagai otoritas (herrschaft) (Weber dalam Badie, 2011), maka didapatkan secara jelas bahwasanya idealisme manusia berpotensi tinggi kontras terhadap tindakan politik. Idealisme yang dimaksud adalah tekad manusia dalam mempertahankan moralnya, baik moral dari code of conduct (hukum agama dan adat) ataupun moral dari moral universalism (hati nurani manusia). Dengan demikian, nilai-nilai idealisme seorang manusia, seperti kejujuran, integritas, keramahan, dan kebaikan secara umum rentan dirusak kekuasaan yang didapatkan dengan tindakan politik. Maka, masalah yang perlu dianalisis adalah kemampuan manusia untuk tetap mempertahankan idealismenya dalam politik praktis.
Kecenderungan politik untuk merusak idealisme manusia sempat diteliti oleh seorang psikolog bernama David Kipnis, ia kemudian menyimpulkan bahwa kemampuan untuk menguasai orang lain (sebagai efek berpolitik) menyebabkan adanya sugesti untuk lebih jauh mengeksploitasi kekuasaan itu dengan adanya ketimpangan status sosial (Kipnis dalam Martin, 1998). Â Sugesti ini kemudian menjadi pintu gerbang bagi seseorang yang mempraktikkan politik untuk melakukan hal-hal buruk lainnya, dan lebih lanjut meninggalkan nilai-nilai yang dulu diperjuangkan sebelum mencapai kekuasaan. Keadaan tersebut akan diperparah lingkungan politik yang kompetitif sekaligus bobrok, sehingga semakin memaksa politisi-politisi untuk mengikuti dan tunduk pada situasi itu. Tetapi, sepanjang alur waktu masih banyak tokoh politik berpengaruh dan berkuasa namun tetap mempertahankan nilai-nilai moralnya, sebagai contoh yaitu Abdurrahman Wahid, presiden ke-4 Indonesia yang tetap menyerahkan jabatan kepresidenannya setelah dimakzulkan, walaupun pada saat itu ia masih mendapat dukungan luas masyarakat untuk mempertahankannya. Keberadaan tokoh-tokoh politik yang masih idealis mengindikasikan adanya potensi manusia untuk tidak dikorupsi kekuasaan, terlebih dengan uniknya kepribadian dan cara pikir setiap manusia.Â
Masih adanya orang-orang idealis yang berada dalam dunia perpolitikan menjadi harapan tersendiri bagi masyarakat, hanya saja keadaan demikian perlu diubah secara menyeluruh sehingga perpolitikan itu tidak berpotensi tinggi merusak idealisme orang-orang di dalamnya. Solusi terbesar dilakukan dengan dua cara, yaitu:
Mereformasi Sistem Politik
Situasi perpolitikan dalam suatu negara atau institusi sangat ditentukan oleh sistem politik yang dipakai. Sistem politik dapat dimaknai sebagai kelompok institusi legal yang membentuk pemerintah atau negara (Heslop, 2024), sehingga berkaitan dengan struktur politik. Suatu struktur politik yang membatasi kekuasaan-kekuasaan dengan baik dan proporsional dapat mencegah hancurnya idealisme para politisi melalui penyelewengan otoritas. Salah satu contoh struktur politik yang membatasi kekuasaan adalah sistem demokrasi yang memberikan kuasa tertinggi kepada rakyat, Â namun sistem ini perlu dilengkapi lebih lanjut dengan Trias Politica sehingga representasi rakyat (pemerintah) terpecah menjadi tiga lembaga, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Masih banyak sistem politik lainnya yang dapat mencegah rusaknya mental idealisme politisi, tetapi solusi ini perlu dilengkapi lebih lanjut dengan pengubahan budaya politik.
Perubahan Budaya PolitikÂ
Solusi ini jauh lebih kompleks dibandingkan solusi pertama yang telah dijabarkan, sebab pembahasan budaya politik perlu melibatkan analisis multidimensional, seperti faktor historis, sosiologis, ekonomis, dst. Tetapi tanpa budaya politik yang baik, suatu sistem politik masih memiliki potensi besar untuk dikorupsi, seperti yang terjadi pada banyak negara dengan sistem politik Trias Politica dan demokrasi, seperti Rusia, Korea Utara, Pakistan, Sudan, dan bahkan dalam skala lebih kecil termasuk Indonesia.Â
Terdapat beberapa klasifikasi mengenai budaya politik yang lebih spesifik serta relasinya terhadap kekuasaan. Didasarkan pada tingkat partisipasi masyarakat dalam perpolitikan negara, Gabriel Almond membaginya menjadi tiga, yaitu:
-Budaya Parochial : Masyarakat yang kesadaran dan pengetahuan berpolitiknya masih amat rendah.