Mohon tunggu...
Jonas Suroso
Jonas Suroso Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pengamat sosial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pengalaman Dituduh Tidak Menghormati Senior di STIP

2 Mei 2014   11:26 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:57 2016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="" align="aligncenter" width="565" caption="ilustrasi/kompasiana (tribunnews.com)"][/caption] Minggu lalu pengalaman saya yang serupa yang dialami almarhum Dimas Dikita Handoko di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) seolah terusik kembali. Penyebabnya sama yaitu dianggap tidak menghormati senior. Beruntung saya tidak mengalami hal seburuk seperti yang dialami almarhum Dimas. Saya sempat mengikuti pendidikan selama 4 bulan pertama jadi tentu saja STIP bukan almamater saya. Yang menjadi pertanyaan saya, apakah peraturan-peraturan dan pemasangan kamera untuk melindungi taruna-taruna baru cukup untuk menghindari korban di masa datang? Bukan rahasia umum bahwa di Indonesia peraturan dibuat untuk dilanggar atau paling tidak dicari kelemahannya. Pada jaman saya waktu itu sulit sekali mendapat informasi tentang kehidupan sebagai pelaut di Indonesia. Apalagi saya baru saja kembali dari luar negeri setelah menyelesaikan pendidikan SMA di sana. Saya hanya bercita-cita untuk kembali ke luar negeri dan tinggal di sana. Pada awalnya saya berusaha menjadi penerbang seperti ayah saya tapi sayang waktu itu negara sedang kelebihan penerbang. Salah seorang paman saya yang seorang kapten kapal menyarankan saya untuk mengikuti pendidikan di Pendidikan dan Latihan Ahli Pelayaran (PLAP) yang sekarang menjadi STIP. Akhirnya saya mendaftar dan diterima di STIP yang waktu itu masih berlokasi di jalan Gunung Sahari. Singkat cerita,setelah lulus tes tertulis dan tes kesehatan, saya memulai kehidupan sebagai calon taruna tanpa dibekali gambaran apa yang akan saya hadapi dalam kampus. Dua minggu pertama penggojlokan dengan balai serba guna sebagai kamar tidur bersama dan lantai sebagai alas tempat tidur dapat saya lalui dengan santai. Beruntung saya melewati masa-masa sulit itu tanpa kesulitan. Banyak teman seangkatan yang tangannya melepuh karena terlalu sering melakukan push-up di aspal yang berkerikil. Malahan ada teman yang tidak bisa berdiri lama karena keseringan squat-jump sehingga dengkulnya melemah. Masalah terjadi justru ketika kami masuk ke asrama. Suatu hari saya dibawa oleh dua orang senior ke sebuah kamar mandi umum yang besar. Di sana saya dituduh tidak menghormati mereka hanya karena saya menjawab pertanyaan dari salah satu mereka dengan sedikit tersenyum. Maklumlah saya memang murah senyum. Itu mungkin kesalahan saya. Kemudian saya ditendangi dan dipukuli berkali-kali. Saya hanya selamat karena saya berpura-pura hampir pingsan. Saya sudah terbiasa ditendang waktu saya berbuat kesalahan tapi tuduhan yang mengada-ada dan dipukuli seperti itu yang sulit saya terima. Saya tidak melawan saat itu karena saya ditanamkan untuk tidak berhak melawan senior. Jadi bukan sikap mendewakan senior tapi lebih karena tradisi yang sudah ada sejak berdirinya institusi ini. Seandainya saya tahu boleh mempertahankan diri, tentu saja apa yang terjadi bisa sebaliknya. Kematian Dimas menjadi bukti bahwa pihak STIP tidak cukup melindungi taruna-taruna baru. Taruna-taruna baru perlu diberi pembekalan bahwa kegiatan-kegiatan “pembinaan” di luar kampus itu tidak dibenarkan. Tidak ada seorangpun pengajar STIP yang menjelaskan hal ini sebelum saya masuk asrama termasuk paman saya yang menjadi salah satu pengajar saat itu. Sekarang sudah dibuat peraturan untuk menghindari pemukulan terhadap yunior. Tetapi peraturan saja tidak cukup. Harus ada cara untuk mengatasi akal-akalan senior yang selalu ingin berusaha melaksanakan tradisi ini secara sembunyi-sembunyi. Sikap pihak STIP terkesan cuci tangan ketika mereka mengatakan bahwa kejadian berada di luar kampus. Seharusnya pihak STIP mencari tahu kenapa taruna yunior itu begitu patuh diminta datang ke tempat kos para senior. Kalau pihak STIP tidak mau mencari tahu dan selalu berusaha cuci tangan, jatuhnya korban berikutnya hanya tinggal menunggu waktu saja. Bukan saja terkesan ingin cuci tangan tapi juga mereka terlihat tidak berempati atas kematian Dimas. Pilihan untuk mengundurkan diri dari jabatan di STIP atau instansi terkait tidak ada dalam agenda pribadi mereka. Lantas teladan jiwa kesatria apa yang bisa didapat dari kasus kematian Dimas dan korban lain? Setelah mengeyam pendidikan selama 4 bulan di STIP, akhirnya saya mengundurkan diri dari pendidikan karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan gaya hidup sebagai seorang pelaut. Seandainya saya tahu lebih awal bahwa pelaut lebih banyak menghabiskan waktunya di laut, saya tidak akan pernah mendaftar ke STIP. Naif banget ya? Beberapa tahun kemudian tante saya bercerita bahwa setelah saya mengundurkan diri, suatu hari paman saya yang pulang dari STIP dengan kepalan tangan penuh luka kecil-kecil. Menurut paman saya, beliau baru saja memukuli taruna-taruna yang dulu terlibat dalam pemukulan terhadap saya. Masyallah. Akhirnya saya berhasil mewujudkan keinginan saya untuk tinggal dan bekerja di luar negeri dengan cara yang lebih bergaya dan tanpa harus bersusah payah menjadi pelaut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun