Mohon tunggu...
jonansaleh
jonansaleh Mohon Tunggu... Ilustrator - Hands are the second thought

Tangan adalah pena dari pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Besok, Tuhan Tak Ada Lagi

26 Juni 2017   22:29 Diperbarui: 27 Juni 2017   01:11 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Poris, 26 Juni

"Tuhan tak pernah ada untuk menjadi nyata, tapi Nyata adalah Tuhan yang kelihatan"

Masih kurasakan hari-hari penuh kemenangan. Saat dimana aku merasakan ada Tuhan. Bukan seperti hari-hari kemarin. Dan bersama malam aku ceritakan narasi pendekku tentang aku dan DIA.

Malam bagiku adalah saat yang tepat untuk merajai pikiran. Malam memberi petualangan penuh seksi tanpa lekukan kecemasan akan hari esok. Malam saat dimana engkau tak akan pernah tahu kemana pikiran akan membawa dan membangunkanmu untuk segera menemukan alur. Demikian alur, kemana ia berhembus maka di sanalah engkau merasakan sepoinya.

Malam ini, aku kembali menggerus tinta sambil menikmati seduhan awan gemawan gemerlap kota. Nampak bercahaya remang kemilau, muram tapi bukan merah, melangit dari persembunyian atap-atap balkon dan tiang-tiang besi; kokoh tertanam sejak bertahun yang lampau. Buliran deru dan debu di persimpangan, serta jalan yang kini bermuatan mesin dan hentakan laba-laba premium gas bumi seakan menambah suasana keramaian kesendirianku. Di ujung persimpangan, berlalu-lalang seonggokan pengendara, melekat menyatu,bersama aroma asap dan cucian knal-pot. Aku cukup menyentuh sepasang lubang bulu rubinku_dua lubang yang senantiasa menganga tanpa kenal hari_mengepul dan kuhirup aroma sesaknya kotaku.

Di bawah sudut terpencil aku mengaduk pikiran. Sambil telingaku menyelorot menembus suara angin. Banyak bunyi yang terdengar tak asing lagi terngiang. Suara deru bak pahlawan melawan halilintar dan badai. Nampak jauh, tapi dekat bunyinya. Rindang, renyah dan riuh burung itu berkelebatan menutup asap-asap langit.

Ekornya, sayapnya memancarkan kemilau dan melumpuhkan kunang-kunang. Belum juga, tanah yang bergeser-geser menghentak ujung kupingku. Di kejauhan dan punya selirnya sendiri untuk didikuti meski telah lapuk dan usang karena keegoisannya. Ia lain daripada yang mengaspal di jalanan. Ia kokoh mengerat besi dan sik-sak pun pandai mengigil dengan gigi ginsulnya yang tertata rapi melewati pagar pembatas. Aku mencoba menyerap semua suara-suara itu membiarkan mereka mencuri nadi pendengaranku yang mulai jenuh. 

Malam, di bawah sudut terkecil kota ini aku selalu bersinggungan dengan suara-suara. Suara kecemasan, kebodohan,ketakutan, kematian,kebohongan, kemunafikan, bercampur membaur di bawah kumuh dan bergelantung pada atap-atap tiang tinggi. Dari rumah-rumah, dari tetangga-tetangga, dari para pejalan kaki, dari para pemudik, dari para pencari Tuhan. 

Aneh. Nyatanya, aku tak pernah mendengar suara Tuhan. Ia. Hanya suara Tuhan yang belum terdengar. Jika hari kemarin aku berteriak lantang tanpa kenal waktu untuk memanggil dan menyebut-Nya, maka bukankah saatnya aku menguping. Barangkali Ia menyahutku. Atau paling tidak sekedar menghela nafas. Untuk kuhirup sebagai bekal bagiku untuk menjajal hari esok. 

Masih bersama malam, aku tetap setia menunggu sahutan itu. Mungkin belum waktunya IA menyahutku. Tak apalah. Kerinduan ini biarlah tinggal milik aku dan malam. Sampai akhirnya,..hatiku menyahut dari biliknya: "Besok, TUHAN tak ada lagi, meski engkau telah menang".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun