Menyematkan kata 'miskin'Â pada dan atau ditunjukkan kepada hal-hal yang kita banggakan memang menimbulkan reaksi yang beragam.Â
"Dasar kamu orang miskin!", Â
"Betapa miskinnya kamu sampai-sampai tidak bisa ...",Â
"Dia memang miskin dan tidak tahu malu",Â
"Dia adalah orang yang miskin ilmu",Â
"Bahasa Indonesia memang miskin dalam perbendaharaan kata/kosakatanya".Â
Beberapa contoh kalimat di atas sering kita dengar atau mungkin diutarakan kepada orang lain saat tertentu. Ada yang menanggapinya dengan santai, acuh tak acuh, marah, kesal, pun memberi reaksi beragam yang tidak terduga.Â
Konotasi kata 'miskin' bisa berarti baik dan juga tidak. Tergantung latar belakang kapan, dimana atau pada konteks apa kata itu dipakai. Serta kepada siapa kata itu diujarkan. Hal Ini membuktikan bahwa kata (baca: bahasa), seperti pisau bermata dua.Â
Demikian pun diskusi yang masih hangat belakangan ini terkait sebuah bahasa yang kita bangga-banggakan, Bahasa Indonesia. Bahasa persatuan dikatakan masih miskin, terutama dalam hal perbendaharan kosa-katanya.Â
Bagi saya, ini adalah sebuah celetukan yang berasal dari kesadaran seseorang yang memang kaya dalam memperdalam suatu bahasa dan bagaimana ia peduli akan perkembangan bahasa itu sendiri.Â
Bisa saja, salah satu hal yang melatarbelakangi dia  mengatakan itu adalah keputusasaan akan keterbatasan kosa kata bahasa Indonesia dalam menyampaikan pesan tertentu akibat dari miskinnya bahasa Indonesia itu sendiri. Pendapatnya tentu beralasan. Akibatnya, kita kemudian tergugah untuk memberi tanggapan atas pernyataan ini. Berbagai ulasan dengan sudut pandangnya masing-masing sampai pada kesimpulan yang bervariatif. Â
Sebagai penutur bahasa Indonesia-baku dan tidak baku- saya sependapat dengan kelompok orang yang mengiakan pernyataan tersebut. Namun pada konteks yang berbeda, hal ini lebih kepada tataran praktis penggunaan kosakata bahasa Indonesia itu sendiri.Â
Mengutip berita kompas.com (7/4/2024) Kepala Badan Bahasa menyatakan bahwa saat ini Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring sudah memuat 120.549 kosakata. Targetnya akan mencapai 200 ribu tahun ini. Dari segi jumlah,menurut saya itu sudah banyak dan memperkaya bahasa kita. Tentu kita berharap bisa mencapai target yang telah ditentukan. Tidak sampai di situ karena bahasa karakteristiknya pasti selalu berkembang mengikuti jaman.Â
Lalu, kemudian apa? Apakah kita perlu menyumbangan satu persatu kosakata baru? Jika ya, maka kosakata bahasa Indonesia akan bertambah menjadi 280 juta lebih. Tentu tidak sesederhana itu menambah/memperkayanya. Bahwa sebagian besar orang Indonesia, dalam hal ini mayoritas penutur bahasa Indonesia sebenarnya adalah pelaku yang mempermiskin bahasa Indonesia itu sendiri. Mengapa?Â
Pertama: Preferensi kelompok penutur Bahasa Indonesia. Preferensi kelompok yang menggunakan bahasa gaul atau dulu disebut prokem. Kelompok penutur ini, menurut hemat penulis memberi 'sumbangan' dalam mempermiskin bahasa Indonesia.Â
Jika yang dimaksudkan miskin dalam kosakata yang baku, maka kelompok penutur ini cenderung mengurangi atau menghilangkan beberapa kata yang lazim dipakai dalam konteks bahasa Indonesia. Perpaduan penggunaan bahasa asing (Inggris) dengan bahasa Indonesia oleh gen milenial dalam percapakan bukanlah hal yang baru. Agar terkesan keren, memadukan English and Indonesian is more stylish, katanya. Ini terjadi tidak hanya dalam ruang nyata, tetapi juga dalam ruang diskusi kita di dunia maya. Maka dampak nyatanya kita bisa lihat sendiri. Â
Lalu kelompok penutur baku. Kelompok yang dikategorikan oleh penulis sendiri untuk membedakannya dengan penutur bahasa gaul. Kelompok ini bisa termasuk golongan akademik, ahli bahasa, atau umumnya yang menggunakan bahasa Indonesia yang baku dalam komunikasi sehari-hari.Â
Mayoritas kelompok ini ternyata tidak sebanyak kelompok yang pertama. Maka, dari segi jumlah dan pengaruh, memperkaya kosa-kata Bahasa Indonesia bukanlah tugas yang mudah lagi. Perlu kebijakan politik yang strategis dengan sistem pembelajaran yang memadai.Â
Kelompok terakhir adalah penutur bahasa daerah. Keberadaan kelompok penutur ini, di sisi lain memperkaya khasanah bahasa Indonesia, namun di lain sisi justru mempermiskin bahasa persatuan kita. Sebuah pesan dengan rasa bahasa yang tepat dan mengenah bisa saja hanya tersampaikan dengan bahasa daerah. Bukan bahasa Indonesia. Pada konteks ini, kita bisa mengatakan bahasa Indonesia lemah atau miskin dalam menyediakan kosakata yang memuaskan penuturnya. Sederhananya, bahasa Indonesia kalah bersaing dengan bahasa daerah.Â
Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, penulis menyimpulkan bahwa penutur merupakan komponen utama dalam perkembangan dan kemajuan sebuah bahasa. Keberadaannya bisa memperkaya atau sebaliknya. Maka dibutuhkan kesadaran dan kebijakan yang tepat agar bahasa Indonesia tetap kaya dan kokoh sebagai pemersatu. Mari saling memberi sumbangsih dalam mendukung keberadaan bahasa Indonesia. Dengan menggunakannya dengan baik dan benar sudah merupakan langkah yang tepat memperkaya bahasa Indonesia.Â
Salam. Cinta selalu bahasa Indonesia. Bangga berbahasa Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H