Menjelang petang Be Rahi resah dikejar gelisah. Ada unek yang telah lama mengulek riuh hati dan pikirannya. ingin ia sampaikan. Ia berdiri menggantung waktu, sesaat sebelum malam , ia menengadah dan merindu Pa Ha, kekasihnya. Dalam tengadahnya, unek-uneknya muncrat, ia mengambil kesempatan dan mulai  menggurui Pa Ha. "Hei Pa Ha, dengarkan!"Â
"Jangan kau biarkan pahamu dilalap api birahi karena birahi hanya punya nafsu bejat untuk menyusur sela-selamu. Ohh...kemuning bening tanpa kelokan, merata mulus ditutup dedaunan kain. Hahaha. Itu tak berarti bagi birahi. Kain baginya seumpama gurindam di pagi hari. Sesaat saja ia menyengat tapi selamanya adalah kenikmatan. Jangan kau biarkan pahamu dicercah gerah birahi!"
Kini, engkau semakin menampakkan tabirmu. Tabiat yang kau sembunyikan di dalam gua tak menghalangi pengelana mencari maksiat. Bukanku tak tega bila harus menegurmu-segeralah merapatkan barisan. Tapi nafas birahi ini sudah melampaui kepunyaanmu. Maaf. Tabiat ini sungguh tidak jinak lagi. Kamu dan pahamu tak terkunci. Terlanjur, terkena sihir angin jahat yang katamu akan menyegarkan muaramu dan menyejukkan hilir di antara pohon Selangkangan. Kau abaikan aba-abaku. Dan kubiarkan kau menafikkan pandanganku. Kini berlanjut"
"Buih yang keluar dari peraduan semakin menajamkan birahi ini. Ingin segera kumasuki gerbang penyamunmu. Berharap rampasan malam ini masih menggelantung pada pohon kurma. Lezaaaat, kenyaaal, enaak dan empuk apamu. Jangan kau biarkan pahamu pahamu menyingkap sebelum diberi tancapan pagar. Nanti ketahuan. 'Apa benar milikmu seindah kurma ataukah seelok palawija di musim kemarau?' Jangan kau beri jawaban. Aku-birahiku semakin meneteskan liur dan terlanjur menyeka aroma buih pada curaman pahamu. Aduuuhh... lecet sedikit kena gigiku yang kukulum sedari tadi. Sudah tak tahan lagi"
"Kamu tak kusadar, menghentakkan jemari kepuasan. Aku belum mengerti maksud mimikmu. Ya. Kusudahi saja sekaan ini. Aku kendalikan dan mengulur lidahku birahiku. Tak mampu. Malam semakin runyam ditelan dingin-panas. Gerah. Sedang empunya birahi melenggok entah kemana. Hentakanmu ternyata adalah tanda penawaran darimu. Kulanjutkan saja sampai pahamu terbuka tanpa halangan. Sehelai pagar. Kau perlahan mengerang. Perlahan dedaunan kau gugurkan. Ayooo... mari kita benamkan jaring-jaring. Sama-sama kita memulai. Gemulaimu adalah rasa manis kita. Sama-sama nikmat di malam senyap. Sama-sama mampus terlalu menahan ego. Satu episode belum kita selesaikan"
Tunduk di bawah percintaan. Kamu dan pahamu memang sedang mekar. Tak perlu kupanjat lagi bagian atasmu jika kau biarkan bawahmu terurai penuh keanehan yang sudah biasa. Mari... sekali lagi kita lanjutkan. Sampai daun-daunmu rontok dan tampak gersang.Â
"Hari sudah hampir subuh. Karena pahamu aku tak mampu mengatup sayu kantukku dan birahiku. Ubun-ubunku puas. Kamu puas dan selangkanganmu kenyang. Kita sama pada itu. Terima kasih kau membawaku pada muara dan mengantarku ke hilir, di depan gerbang kemolekan bilur pagar-pagar nafsuku. Kuselesaikan maksiat ini. Teriring semat rinduku pada kekasihku, Pa Ha.Â
"Bodohnya Pahamu!"
Be Rahi menyudahi tengadahnya. Sekian dulu.Â
Poris, 4 Juni 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H