Sewaktu masih kecil, saya sering menonton kesenian tradisional asal Jawa Timur yang disebut dengan Ledhek Kthek  atau Tandhak Bedhes yang secara harafiah berarti Tontonan Monyet atau yang lebih dikenal dengan sebutan Topeng Monyet. Salah satu kontributor wikipedia mengutip Matthew Isacc Cohen menulis bahwa pertunjukan yang menampilkan monyet itu adalah miniatur sirkus yang merupakan salah satu hiburan mengamen paling umum di pasar,jalan-jalan perdesaan dan perkotaan di seluruh barat Indonesia. Dalam pertunjukan topeng monyet, biasanya seorang pawang akan mengendalikan dengan rantai seekor monyet yang melakukan berbagai atraksi dengan iringan musik. Pawang topeng monyet ini akan berkeliling dari satu komplek perumahan ke perumahan lain atau dari satu perkampungan ke perkampungan lain, dan kedatangan rombongan ini selalu disambut gembira oleh anak-anak yang sering meminta sang pawang memainkan Topeng Monyet.
http://id.wikipedia.org/wiki/Topeng_monyet
Pengumuman dari Syafii Ma'arif, Ketua Tim 9 atau Tim Independen bentukan Jokowi untuk mengatasi kisruh KPK dan Polri, bahwa pengajuan Budi Gunawan bukan inisiatif Jokowi dan secara implisit Syafii mencoba mengungkap bahwa Budi Gunawan adalah inisiatif Megawati, Ketua PDIP semakin mempertegas pemikiran khalayak ramai beberapa waktu terakhir, bahwa kepresidenan Jokowi dikendalikan sepenuhnya oleh triumvirate Megawati-Surya Paloh-Jusuf Kalla sedangkan Jokowi sekedar pengesah kebijakan dari Teuku Umar, sebagaimana terbukti, setiap ada masalah negara yang perlu penyelesaian, katakanlah kisruh KPK-Polri, rapat penting selalu diadakan oleh para ketua parpol koalisi di rumah Megawati di Jalan Teuku Umar tanpa dihadiri Jokowi dan selesai rapat akan datang utusan dari Teuku Umar ke Istana Negara, seperti kedatangan Pramono Anung misalnya.
Adapun menurut saya, aksi Effendi Simbolon yang mengkritik dan mengancam pemakzulan Jokowi dan diamini oleh kalangan PDIP sebenarnya sekedar sandiwara untuk memperbaiki citra Jokowi yang belakangan disebut sebagai boneka atau tukang stempel koalisi parpol pendukungnya. Dengan cara berbeda, usaha yang sama juga dilakukan oleh Hendropriyono ketika berkoar-koar bagaimana Jokowi melawan kehendak parpol koalisi untuk menetapkan Luhut Panjaitan sebagai Kepala Staf Kepresidenan untuk membuktikan bahwa Jokowi tidak tunduk pada keinginan Megawati. Cerita Hendropriyono ini mungkin akan lebih meyakinkan seandainya tokoh yang dipakai untuk contoh bukanlah Luhut Panjaitan sebab semua orang tahu Luhut berjasa penting "menemukan" Jokowi di belantara hutan Solo dan membantu Jusuf Kalla memporak-porandakan Golkar padahal belum ada hadiah jabatan menteri diberikan pada Luhut, sehingga menciptakan jabatan yang mencuri ide Prabowo berupa menteri utama bagi Ical dengan Kepala Staf Kepresidenan adalah jalan keluar terbaik yang pasti disetujui oleh parpol koalisi. Kita tahu bahwa menciptakan jabatan fiktif adalah salah satu cara Jokowi membayar utang budi kepada pihak yang membantunya, seperti jabatan Kepala Badan Ekonomi Kreatif dengan budget Rp. 1trilyun untuk Triawan Munaf, yang mana kehadiran anaknya di barisan pendukung pada masa pilpres yakni Sherina Munaf sangat mendongkrak nama Jokowi di kalangan anak muda Indonesia.
Terlalu banyak contoh yang bisa digunakan untuk membuktikan bahwa Jokowi adalah boneka Megawati dan semua pendukungnya dari barisan koalisi masyarakat sipil mulai ramai menyebutnya demikian, walaupun menggunakan eufimisme yang berbeda seperti Haris Azhar memanggil Jokowi sebagai sekedar tukang stempel yang berkuasa tapi tidak memiliki kekuasaan  dan terakhir peneliti dari ICW, Donal Fariz mengatakan bahwa partai-partai pendukung Jokowi memiliki kepentingan sendiri dan tidak mendukung Jokowi dan PDIP baru menempatkan Jokowi sekedar sebagai anggota partai biasa sehingga Jokowi tidak terlalu dianggap. ICW tentu saja cukup banyak menempatkan alumninya di pemerintahan Jokowi, seperti Teten Masduki, Alexander Lay, Faisal Basri dan lain sebagainya.
Dunia pemerintahan Indonesia sejak Jokowi terpilih sangat bisa untuk dianalogikan sebagai pertunjukan atau pentas Topeng Monyet, dimana para monyet yang melakukan pentas dan menghibur orang-orang yang menonton aksi-aksinya terlihat sebagai aktor utama, tapi di belakang ada pawang yang bertindak sebagai sutradara pentas dan mengendalikan Topeng Monyet dengan "memberi petunjuk" apa yang harus dilakukan selanjutnya seperti berkeliling sambil membawa payung atau naik sepeda, dan pawang Topeng Monyet adalah analogi yang pas atau tepat untuk Triumvirate Mega-Surya Paloh-Jusuf Kalla. Tragis, negara sebesar Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke ternyata dikelola dengan manajemen ala Topeng Monyet, di mana sang presiden yang seharusnya menjadi aktor utama ternyata dikendalikan melalui tali tidak terlihat oleh tiga orang pawang dan sehari-hari sekedar melakoni pertunjukan sesuai perintah atau permintaan sang pawang.
Bagi pendukung atau bukan, tapi manajemen Topeng Monyet yang dilakoni Istana Negara dengan pawang di Teuku Umar ini tentu adalah sebuah tragedi yang sangat memalukan. Entah dosa apa bangsa ini mendapat pemimpin seperti itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H