Sedikit Pemikiran dan Tindakan untuk Pariwisata Indonesia.
“Eh lo udah baca majalah Tempo baru belum? Keren men, gaada politik-politiknya.” Kata seorang sahabat saya pada pertengahan November 2013 lalu. Tempo yang identik dengan Ekonomi, Hukum dan Politik, pada satu edisi membahas tentang “100 Surga Indonesia yang tersembunyi”. Mungkin bosan pikir saya, atau sedang memberikan sesuatu yang baru dan segar pada masyarakat yang makin lama makin enggan bahkan untuk tahu info politik. Apapun itu, “Wah keren bang, gue bakal simpan terus edisi yang ini selamanya” saya sampaikan begitu pada bang Arzul, yang ternyata baru menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di Majalah Tempo waktu majaleh edisi itu terbit.
Pariwisata kian menjadi dewi amor bagi berbagai negara dalam mendongkrak perekonomiannya. Setiap negara berpacu mengoptimalisasikan kemampuan masing-masing baik dalam kualitas maupun kuantitas di sektor ini. World Tourism Council mengatakan bahwa 9% PDB dunia, disumbangkan oleh sektor ini. Juga pada 2020, diprediksi akan ada sebanyak 1.6 milyar manusia melakukan peliir ke berbagai tempat, sumbangan koceknya, mencapai angka 3 triliun dolar. Tiga kali lipat dari saat ini.
Sebagai produk jasa, mungkin pariwisata adalah industri yang paling imun terhadap krisis. Masalahnya, sebagai negara (yang terus-terusan disebut) negara berkembang, (karena tak kunjung menjadi negara maju) Indonesia belum optimal dalam mengembangkan sektor ini. Kita masih berkutat pada sektor lain yang terus mengeruk habis sumber daya alam.
Tidak apa kalau pertanian ataupun perikanan, itu semua terus-terusan dapat diperbaharui bahkan tanpa sentuh tangan manusia seperti ikan laut. Lalu bagaimana dengan migas yang dari zaman onta hingga zaman toyota masih itu ke itu saja masalahnya, lalu dengan produk kehutanan (perkayuan), serta mineral. Hutan kita habis, goa mineral kita mengering, tapi dompet kita tetap tipis dan negara kita masih saja luntang-lanting.
Bahkan saudara kita (yang entah mungkin tidak ikhlas dipanggil saudara) di Papua sana hidup di bawah kenyataan pahit, sumber daya alam mereka terus dikuras, tanpa mereka dapat merasakannya. Ayam mati di atas tumpukan padi? Tepat atau tidaknya perumpamaan ini, tanya saja pada hati masing-masing.
“Indonesia adalah sebongkah tanah surga yang terlempar ke bumi. Dari ujung ke ujung, semua teruntai indah.”
Entah apa maksud Tuhan memberikan kita tanah yang luar biasa indah ini, yang jelas kita belum bisa memanfaatkan anugerah itu dengan baik. Kita jauh kalah dengan Malaysia dalam pengelolaan, dalam kemampuan dan dalam pariwisata dan juga branding. Bahkan dari Singapura, seonggok tanah yang dulu bernama Temasik yang tak punya apa-apa itu sekarang malah bercokol di papan atas tingkat kunjungan wisata dunia, kita jauh di peringkat tiga puluhan. Apa yang mereka punya? Tidak ada (tadinya). Tapi mereka berhasil mengemasnya dengan baik. Silahkan buka channel youtube berjudul ‘Shiok Singapura’ atau ‘Your Singapore’. (http://www.youtube.com/watch?v=CBp1ecVgIQc)
Kita terus berkutat pada hal lain yang membuat kita lengah pada apa-apa yang justru sebenarnya paling bisa membuat kita kaya. Mungkin “Jauh di bawah perut bumi kami, ada banyak yang akan membuat kami kaya raya, yang akan membuat dunia takluk.” Apakah ini masih relevan? Mungkin relevan, tapi apakah kita benar-benar menjadi kaya?
Sekarang siapa yang kaya raya dengan hasil di perut bumi itu? Apakah justru yang dapat membuat kita kaya berada tepat di permukaan tanah kita? Di pegununggan? Di lembah? Di bibir pantai? Di keindahan terumbu karang? Di kebudayaan Indonesia yang entah berapa ragamnya? Di rumah adat segala macam suku bangsa kita? Di peninggalan sejarah? Di tari-tarian dan cinderamata? Di candi-candi? Ah, apalagi namanya kalau bukan pariwisata.
Branding ini Sejenis Makanan Apa?
Pada mata kuliah Perencanaan Pemasaran, beberapa teman saya yang tergabung dalam satu kelompok penugasan membahas tentang pariwisata Indonesia. Pada akhir sesi presentasi, bertanyalah saya tentang relevansi dari branding “Wonderful Indonesia”. Saya sendiri berpendat, branding semacam itu tidak cocok dengan Indonesia. Ide awal dari tag Wonderful Indonesia itu adalah karena Indonesia memiliki banyak peninggalan sejarah, wonder. Tapi itu juga bisa dimaknai bahwa Indonesia itu memang ‘wonderful’. Tapi apakah itu cukup menggambarkan Indonesia? Apakah agen-agen bangsa yang bertugas menjaga dan memperkenalkan Indonesia benar-benar paham dengan makna dari branding itu?
Wonderful adalah kata sifat. Kelemahannya, tidak ada emosi dan keterikatan pada kata itu. Singapura dengan ‘Your Singapore’ mengikat wisatawan secara emosional. Orang diajak untuk sama-sama merasakan bahwa ‘Singapura itu milik kami juga.’ Atau Peru, dengan ‘Everything you need, now in Peru’. Sedikit lebih ke belakang, Malaysia dengan Trully Asia. Mereka memilih itu tidak sembarangan. Di sana, kita bisa menemukan orang India, orang Arab, kemudian berjalan sedikit ke China Town, kita langsung seakan berada di negeri Tirai Bambu. Malaysia tidak sekaya Indonesia dalam alam maupun kebudayaan. Tapi lihatlah, mereka tidak lengah dengan apa yang ternyata sudah mereka miliki. Di sana berkumpul semua orang dari Asia, semua aktivitas bisnis, semua sifat dan semua ‘yang berbau Asia’ jadilah mereka memasang ‘Trully Asia’ alias Asia Kecil. Seorang teman saya di Melaka mengatakan “Kamu tidak perlu keliling Asia untuk melihat Asia, cukup pergi ke rumahku, Malaysia.” Merinding saya ketika membaca email darinya itu.
Sayangnya, pada sesi presentasi di kelas Perencanaan Pmasaran itu, teman saya yang tergabung dalam kelempok tersebut ada yang mengatakan ‘penamaan itu tidak penting’. Sungguh saya kecewa, sebagai mahasiswa pemasaran berani-beraninya teman saya itu berkata seperti itu ‘penamaan itu tidak penting’.
Branding itu adalah proses teramat penting, paling penting dari segala macam proses bagi suatu produk. Termasuk pariwisata. Jika anda ingin mengetahui tentang branding, silahkan lihat youtube dengan judul ‘what is branding’ (http://www.youtube.com/watch?v=JKIAOZZritk)
Branding bukan membahas permukaan saja karena branding itu sangat dalam dan luas. Seluruh isi lautan adalah branding itu sendiri. Kita tidak bisa menyebut permukaan laut sebagai laut dalam bentuk kesatuan. Melainkan, seluruh isi laut hingga kedalaman sekian, dengan makhluk-makhluk di dalamnya, dengan keterlibatan laut pada cuaca, pada angin, dengan kontribusinya pada ketersediaan ikan dan garam, dengan bencana-bencana yang ditimbulkan olehnya, dengan kekayaannya, dengan kandungan kimianya, dengan segala macamnya, semuanya kita sebut dengan satu kata: laut. Jadi, branding itu sama seperti laut, benar-benar menyeluruh. Proses, mulai dari sebelum konsumsi hingga pasca konsumsi.
Dikaitkan dengan pariwisata Indonesia, apa yang paling tepat pada pariwisata Indonesia untuk disematkan?
Indonesia adalah negara yang berbahaya. Banjir, gunung meletus, gempa bumi dan banyak bencana lainnya. Ketika bencana itu terjadi, jelas itu adalah musibah bagi kita, tapi dampak yang terbentuk setelah puluhan tahun oleh suatu bencana justru malah menjadi anugerah.
Tidak hanya berbahaya secara alam, tapi manusia Indonesia penyebab marabahaya dan bencana. Lihat saja koruptor atau anggota dewan, mereka semua (insya Allah) adalah sumber bencana (semoga suatu saat anggota dewan dapat dicoret dari daftar bencana). Kemudian juga dari terorisme hingga geng motor, semuanya lengkap ada.
Butuh keberanian untuk tinggal di tanah ini. Apalagi untuk berwisata. Tapi ternyata meskipun Indonesia itu berbahaya, menakutkan, masih saja ada yang mau berwisata. Lalu apakah kita berani memasang kalimat promosi berupa “Indonesia is most dangerous country in the world, dare you to come?”
Jangan buru-buru tertawa atau marah, hati-hati. Penggunaan kalimat yang menantang seperti itu sudah cukup bagi kaum muda pecinta tantangan untuk memasukkan Indonesia ke dalam list negara tujuan mereka. Kalau kita bilang “ah infrastruktur di negara kita kan jelek, bandaranya ga jelas, toiletnya kotor, jalanan macet” nah itu semua juga termasuk hal-hal yang menantang untuk dilewati bukan? Toh tidak semua tempat di Indonesia yang parah. Nah, selepas si bule-bule itu melewati ‘tantangan’ mereka akan menemukan surga berupa pemandangan Indonesia yang luar biasa indah. Itu kenapa saya sebut Indonesia adalah sebongkah tanah surga yang terlempar ke bumi. Untuk masuk surganya Tuhan saja, kita harus melewati ‘tantangan’ dulu bukan?
Kita manfaatkan saja dahulu apa yang sudah kita miliki. Dengan sendirinya, kita bersama waktu akan menyembuhkan bangsa kita. Pojok-pojok yang tidak beres, akan terus diperbaiki. Sama seperti Malaysia yang memanfaatkan bahwa tanah mereka ramai oleh semua etnis Asia, sama seperti Singapura yang orang-orang sudah serasa memiliki secara bersama-sama.
Kalau ditanya untuk memperbaiki citra bangsa harus lewat mana terlebih dahulu, ya tidak ada yang tahu jalan mana yang mesti ditempuh terlebih dahulu bahkan presiden RI sekalipun, silahkan Anda tanya kalau tidak percaya. Jawaban yang akan kita terima ya akan sama dengan apa yang hati kita katakan “dari diri sendiri, dari apa yang kita lihat, dan dari sekitar kita.” Di situ akan terlihat pula bedanya antara ‘pikiran vs tindakan’ atau ‘mikir doang vs turun tangan’ dan juga perbedaan antara ‘ucapan vs tulisan’ atau ‘bacot doang vs berkarya’.
(Jangan Menjadi) Sarjana di Atas Kertas
Pada 8 Februari 2014 lalu, rektor UI memindahkan tali di kepala toga saya dari kiri ke kanan dan resmi pula lah hari itu saja menjadi sarjana ekonomi beserta ribuan rekan lainnya. Jauh hari sebelumnya, sebagian besar kami harus mengerjakan skripsi dan mempertahankannya di depan para dosen penguji alias sidang skripsi.
Saya lulus terlambat satu semester, karena satu dan lain hal. Ketika di semester sembilan banyak teman yang berpesan “Jangan sok ngerjain skripsi idealis deh lo men, cari yang gampang-gampang aja. Skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai.”
Saya bukan orang yang seperti itu, kalau tidak suka ya tidak suka. Kalau suka, kalau cinta, maka akan saya lakukan sungguh-sungguh. Kemudian hari saya memutuskan untuk meneliti tentang pariwisata Indonesia, saya ingin mengetahui hal-hal apa saja yang membuat wisatawan, baik dalam negeri maupun mancanegara, ingin kembali lagi mengunjungi suatu tempat wisata di Indonesia. Di samping itu, saya juga mencari tahu, hal-hal apa saja yang membuat para wisatawan mau merekomendasikan Indonesia, atau salah satu tempat wisata di Indonesia kepada yang lain.
Kemudian lahirlah satu kesimpulan bahwa, orang akan kembali ke satu tempat wisata dikarenakan ia merasa nyaman, rileks, santai, dan merasa bahagia ketika berada di sana. Bukan hal-hal seperti keindahan alam, bukan juga keunikan yang berada di satu daerah wisata tersebut. Jadi orang mengunjungi Yogjakarta bukan karena candi Borobudur, melainkan karena experience atau pengalamannya. Ia merasa nyaman di Yogjakarta. Begitu juga Bukittinggi, bukan karena Jam Gadang atau Ngarai Sianoknya, melainkan karena di Bukittinggi para wisatawan merasa bahagia.
Hal-hal berbau tali emosi itulah yang juga membuat wisatawan merekomendasikan kepada orang lain. Sementara tentang Borobudur dan Jam Gadang, itu semua berbau informasi dan keunikan. Untuk melihat Borobudur dan Jam Gadang, perlukah kita mengunjungi langsung? Tidak. Untuk tahu penginapan paling murah di Lombok haruskah kita pergi ke Lombok terlebih dahulu? Untuk mengetahui kesenian dan tarian Bali apakah kita perlu ke Bali? Untuk menikmati segelas kopi Aceh haruskah kita pergi ke Tanah Rencong itu? Jawaban untuk kesemuanya adalah: tidak.
Hari ini kita punya google, punya youtube, semua informasi dapat kita temukan melalui ujung jari kita. Tapi ada yang tidak bisa kita temukan yaitu emosi. Apakah kita sudah cukup bahagia apabila hanya menghampiri rumah makan Padang di kota kita hanya untuk menjawab kerinduan pada Bukittinggi? Apa kita sudah merasa damai hanya dengan melihat saluran-saluran youtube tentang Pulau Dewata? Toh ketika di kelompok pergaulan kita hendak berencana berwisata, maka bukan “apa sih yang ada di sana?” lah yang menjadi faktor penentu jadi berangkatnya atau tidak, melainkan “di sana asik gak coy?” Karena pertanyaan “ada apa sih yang ada di sana?” itu dapat ditemukan jawabannya di mana-mana. Tapi, pertanyaan “di sana asik gak coy?” sekalipun tidak dapat dijawab oleh google.
Di akhir sesi presentasi sidang mempertahankan skripsi waktu itu, setelah sesi tanya jawab, saya angkat bicara. “Pak, Buk. Saya tidak mau rekomendasi ini hanya di atas kertas saja. Saya hendak memutarkan sebuah video, yang paling tidak cukup menggambarkan kesimpulan dari skripsi saya bahwa Indonesia hendaknya fokus pada kampanye afeksi (emosi).”
Berikut videonya >>> https://www.youtube.com/watch?v=RRPTKa6nr5M&feature=youtube_gdata_player
Tangangah (terpana dan terdiam) lah para dosen penguji dibuatnya.
Untuk lebih lanjut mengenai skripsi ini, dan kaitannya dengan kesimpulan berupa affection campaign pada pariwisata Indonesia, akan saya lanjutkan di tulisan berikutanya dalam waktu dekat.
5 Maret 2014 (di posting ke Kompasiana 10 Maret)
Di bawah Rongga Langit Depok
@da_jomb | www.jombangsantanikhairen.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H