Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kredo

28 April 2024   04:24 Diperbarui: 28 April 2024   13:02 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Mahkamah Konstitusi (sumber: kompas.id)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kredo (Credere, Latin) dimaknai (1) pernyataan keyakinan dan (2) dasar tuntunan hidup. Makna harfiahnya sendiri adalah "aku percaya". Digunakan lazimnya sebagai pernyataan keimanan (confession of faith) dalam tradisi Kristiani. Pemisal yang populer adalah "Apostle Creed" (Kredo Rasul/murid Yesus) dan Kredo Dewan Gereja Nicaea (Nicene Creed, Nicaea terletak di Turki, sekarang dusebut Iznik). Dalam konteks Islam, Kredo disebut syahadat (dari asyhadu= aku bersaksi). Kredo kemudian berkembang dan digunakan dalam konteks yang lebih luas, tak melulu soal agama.

Di ranah politik misalnya. Ada semacam keyakinan yang berlaku dalam sistem Demokrasi bahwa "suara (pilihan) rakyat adalah suara Tuhan" (vox populi vox Dei). Jargon (istilah khusus) populer ini bisa dianggap sebagai Kredo karena di dalamnya terkandung keyakinan akan kebenarannya. Tak terbantahkan? Belum tentu.

Jika dalam konteks agama keyakinan bersifat mutlak, sebaliknya dalam Demokrasi yang platform-nya adalah banyak-banyakan suara, iman itu menjadi relatif.

Jika 90 juta lebih (58% suar sah) suara pemilih pasangan Prabowo-Gibran dianggap sebagai suara Tuhan, maka 67 juta lebih (41,7%) akumulasi suara pemilih paslon 01 dan 03 yang juga suara rakyat apakah tidak layak disebut juga sebagai suara Tuhan? Atau jangan-jangan "Tuhan" yang dimaksud dalam dunia politik adalah Janus, "Tuhan" zaman awal, pertengahan, dan akhir dalam mitologi Yunani yang punya dua wajah. Mana wajah yang menatap masa depan dan mana melihat masa lalu tergantung berapa banyak suara sanggup dibeli, eh, diraih. Begitu?

Bagaimana halnya golput seperti diriku? Atheis kali ya!

Itu sebabnya, imbauan agar partisipatif dalam Pemilu tak pernah menggerakkan hatiku, meski iklan Pemerintah c.q. KPU sangat dahsyat: "Gunakan hak pilihmu, satu suara menentukan masa depan bangsa!" Sebabnya, sama seperti vox populi vox Dei, teramat sulit bagi nalarku yang cekak untuk meyakini bahwa satu suara bisa menentukan masa depan bangsa. Apalagi bangsa sebesar, sekompleks, seantik, dan se-nyleneh Indonesia. Tidak, iklan KPU bukan Kredoku.

Sialnya, kali ini aku keliru. 22 April lalu, Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan paslon 01 dan 03. Apa substansi gugatan dan kenapa ditolak tidak menarik dibicarakan. Yang mencuri perhatian dan berhasil mematahkan  "keyakinanku" adalah mekanisme pengambilan keputusan dalam MK yang juga menganut mode banyak-banyakan suara hakim.

Ada 8 hakim MK yang mengadili PHPU lalu. Biasanya 9, tapi yang seorang kena tilang. 5 hakim menolak gugatan, sedang 3 hakim lain menyatakan beda pendapat (dissenting opinion). Sekali lagi, bukan substansi, tapi kalkulasi sangat sederhana yang kemudian berlaku: 5 menang lawan 3. Dok, dok, dok! Selesai.

Demi Allah, aku tobat, aku insyaf. Benar adanya bahwa satu suara menentukan masa depan bangsa. Benar-benar hanya 1 suara. Dan itu milik salah seorang dari lima hakim MK. Kalau suara yang satu itu lain bunyinya, entah ada hubungannya dengan Tuhan atau tidak, cerita akan beda. [GM]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun