Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Lek Lek Ngayogyakarta

30 Maret 2023   08:16 Diperbarui: 30 Maret 2023   09:17 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MUQADDIMAH

Sekira dihadapkan ke Mahkamah Kebudayaan Internasional (kalau ada), Indonesia pasti terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai bangsa paling kaya budaya sejagad. Ambil dua pokok perkara saja buat sampel: kuliner dan bahasa. Ada yang lebih kaya?

Biar terang, kita pakai ilustrasi. Dalam Jawa, kata "telan" ditulis sangat ringkas: "lek". "Menelan" jadi "ngelek". Itu versi "Krama Ngoko", kasta bahasa milik wong lumrah alias kaum proletar. Kalau pakai "Krama Madya", kasta kelas menengah, sebutannya jadi "ngulu". Bila menggunakan kasta yang lebih egaliter lagi, yakni ragam bahasa gaul, ia berubah jadi "nguntal"!

Jangan protes. (Bahasa) Jawa juga bagian identitas Bahasa. Identitas Indonesia. Ini politik identitas.

Beda kaidah dengan Melayu, Jawa mengenal istilah "malihan" (metamorph) untuk merubah kata benda menjadi kata kerja atau sebaliknya, dengan mempertahankan kata dasarnya. Dalam hal "lek" (verba pasif), ia bisa menjadi "ngelek" (verba aktif), dan menjadi kata benda (yang maknanya berbeda) cukup dengan majas repetisi. "Lek Lek" artinya "makanan".

Tidak baku memang. Tapi saya penganut faham anti bahasa baku. Sebab, membakukan bahasa sama dengan membunuh bahasa itu sendiri. Lagi pula, de facto, metamorph seperti itu ada dan hidup di tengah pengguna Jawa.

Dalam tulisan terdahulu (Bahasa Pancasila) saya mengendus sebab-musabab "Bahasa" (dengan "B" kapital), yang berasal dari "Melayu Pasar" bisa menjadi bahasa paling kaya sedunia. Penyebab mayornya adalah sifatnya yang inklusif, lentur, dan tak banyak aturan.

Hal inklusif itu begini nalarnya: Siapa yang mau menyangkal kalau "Dewan Perwakilan Rakyat" adalah istilah resmi dalam "Bahasa" untuk menyebut parlemen? Lema-lemanya tercantum dalam KBBI. Padahal, ia sepenuhnya berasal dari "Arab": Diwan, Wakil, dan Ro'iyah. Pun padanannya (parlemen) yang didaku (baku pula) asli Indonesia, adalah cerapan dari "parliamentum" (Latin).

Jadi, kalau dalam seri "Lek Lek Ngayogyakarta" ini banyak digunakan kosa kata "asing", itu bukan karena saya tidak taat kaidah, tapi sekadar sayang bila kekayaan khazanah yang kita punya tidak dimanfaatkan. Mubazir.

Soal njenengan tidak familiar dengan taburan kata yang mayoritas dicomot dari Jawa dalam berbagai kastanya, percayakan saja pada idiom Melayu:  Alah bisa kerana biasa.

Itu soal bahasa. Sekarang kita cerna ragam kuliner dari Ngayogyakarta. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun