"Gus, sini, makan. Gua masak Lelung. Ajak Mas Wim."
Chat John Doe, ya, John Doe yang nganu itu, bukan tawaran, tapi perintah. Kurang ajar memang, tapi Lelung (gule balungan) adalah kuliner meat base favoritku selain rica dan tengkleng. Maka, kujemput Wimar di kosannya. Berboncengan, kami sowan ke rumah Si John.
Pertama, Si John mengajak kami ke halaman belakang rumahnya yang hijau. Dia pamer koleksi flora yang katanya sumbangsih buat negara untuk menekan inflasi dan menjaga ketahanan pangan.
Di pojok utara yang berbatasan dengan tembok Rumah Sakit Islam, Wonosobo, berjajar ragam cabe-cabean (makna letterlijk) alias keluarga Capsicum Annum L.Â
Dua pohon Datil Pepper (cabe red/setan) dan Thai Pepper (rawit hijau/rawit kecil) merumpun dengan buah super lebat. Buahnya ada yang tegak, ada yang bergelantung. Putih, kekuningan, hijau, merah, bak taburan spektrum warna di mahkota daun menghijau. Keren.
Yang bikin iri, koleksi cabe-cabean Si John super lengkap mulai yang edible seperti cabe merah besar, cabe padang yang gemuk-gemuk, jalapheno yang warnanya hitam dan berubah merah saat matang, hingga tiga macam bell pepper alias paprika. Yang berfungsi untuk cuci mata juga ada, yakni Bolivian Rainbow atau Numex Twilight dan Cabe Katur.
"Gua doyan pedas, slaen itu cabe mengandung lapsaraginase dan capsaisin, agen penghambat radikal bebas alias zat pencegah kanker. Capsaisin yang pedes merangsang otak memproduksi endhorpin. Lebih murah daripada narkoba," ujar Si John kemaki.
"Busyet, lo gak malu ngasih kuliah pertanian Gus Memet, John? Kan bliau yang santri kafir?" protes Wimar.Â
"Aku hanya santri, Dik Wim. Si John ini sudah level mursyid kalau soal pertanian (al kafir) walau agak majdzub, ha..ha..ha."Â
"Okede. But, please John, kuliahnya laen kali aja, ok? Udah laper nih."
