Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wayang

23 Februari 2022   18:16 Diperbarui: 23 Februari 2022   18:23 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wayang mendadak dalang alias wayang pansos (tweet @ganjarpranowo) 

Sejak algoritma medsos mengapling-kapling (duh, bahasaku) diskursus publik dengan bubble efect, popularitas wayang makin terbelah. 

Sebutlah lima bersaudara Pandawa dan seratus sepupu mereka yang disebut Kurawa. Dalam survey-survey popularitas, merea selalu menduduki peringkat atas.  Di bawahnya ada sederet lagi wayang-wayang top hundred macam sesepuh-sesepuh Hastina, Dasamuka dan adik-adiknya, Hanuman,  dan tentu saja Kresna plus Setyaki. 

Di seberang, lebih banyak wayang tak terkenal, entah karna pasif di medsos atau memang gaptek.  Setyaka misalnya.  Meski perannya dalam menyukseskan hajatan civil war Bharata Yudha yang disutradarai Kresna tak bisa dianggap enteng, jarang orang tahu peran wayang ini ketika mengalienasi Baladewa dari kancah perang. Popularitasnya jauh di bawah Dhurmagati, buzzer Kurawa  yang statusnya cuma penggembira. 

Kasta terendah ditempati sederet wayang pinggir, mereka yang ditancapkan di kiri kanan geber sebagai dekorasi belaka. Sejenis unverified kompasianer atau akun bots: selalu tampil tapi nggak jelas identitasya. 

Nah, dalang yang pegang garan wayang rupanya tahu persis bagaimana membelah opini publik dengan algoritma bubbke efect. Dalang mendikotomi karakter wayang yang di depan kelir full color sementara di screenshot selalu monochrome hitam, menjadi dualitas hitam putih.  Kurawa, Dasamuka, wayang manca (asing dan aseng) dicelup warna hitam.  Pandawa, Ramawiaya, dan sekutu-sekutunya golongan putih. 

Maka serulah polarisasi abadi itu seperti syair civil war Guns n'Roses: and the war goes on as the years go by... Dan kita menikmatinya atau dengan dalih moralitas, mengambil hikmahnya. 

Padahal sesungguhnya,  wayang adalah korban permainan sang dalang. Sebab kita tak pernah paham mengapa tak ada golongan wayang hitam yang bertaubat lalu membelot ke grup sebelah. 

Kalau Dhuryudana kekeuh memilih jalan perang, kita maklumi argumen-argumennya secara politis.  Adipati Karna pun kita puji sebagai die harder ketika dengan alasan moral memihak lawan keluarga kandungnya. Percayalah, kebenaran itu subyektif selama statusmu hanya wayang.  Kebenaran absolut hanya milik Tuhan, eh dalang. 

Maka sah-sah saja ketika Ki Warseno mementaskan duel brutal, fisik dan verbal antara Baladewa versus wayang who knows who yang mendadak viral.  Sama sahnya kalau kamu tidak kenal siapa Kumbayana dan berpendapat wayang-wayang hanya bikin kamu buang-buang waktu. 

Yang tidak sah, baik secara moral maupun politis adalah sejenis wayang pansos. Yakni wayang yang pura-pura jadi dalang hanya untuk mendongkrak popularitas. Ini bolehlah dikategorikan barang haram!  ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun