Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kucing

18 November 2020   16:04 Diperbarui: 18 November 2020   16:11 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Jadi, kalau Anda kucing, mengeonglah

Tiba-tiba saya tertarik membeli kucing dalam karung. Sebab saya tahu, kucing-kucing yang dijajakan di etalase itu, bahkan setelah melalui sortasi yang ribet, tidak pandai mengeong.

Jelas saya menghendaki kucing yang bisa, syukur pandai, mengeong. Buat saya, esensi seekor kucing memang pada eongannya. Saya mesti dengar dulu suara si kucing sebelum membelinya. Kek cara saya beli burung Pleci dan album Iron Maiden.

Saya tidak akan beli kucing hanya berdasar tampilan wadagnya. Apalagi cuma bersandar pada display foto sepasang kucing plus tagline klise yang dipajang di etalase bakul kucing. Iklan begituan tidak menarik sama sekali buat saya, apalagi  skor estetika grafisnya begitu buruk. O ya, saya ngerti desain grafis dan sedikit ilmu komunikasi visual, jadi maaf kalau saya terus terang dalam menilai iklan. Oh, maaf bukan itu maksud saya. Maksudnya, saya memang pengen beli kucing sepasang, biar bisa beranak pinak. Tapi kok milih yang dalam karung?

Memang pilihan ini berisiko. Saya tidak bisa memindai kucing yang hendak saya beli. Menghidunya pun percuma belaka, karena nalar sehat saya mengatakan: aroma kucing, dan terutama fesesnya, di mana-mana sama saja: memuakkan.

Hendak merabai dulu pun tak ada jaminan saya tidak akan terluka, di sana bisa saja tersembunyi cakar-cakar tajam dan siaga karena kucing suka merasa terancam pada segala sesuatu yang belum akrab dengannya. Tapi bulat tekad saya untuk beli kucing dalam karung. Sebab, Anda tahu kelanjutannya.

Absurd. Tapi biarlah. Mungkin kegilaan ini disebaban oleh nostalgia. Pada suatu ketika, saya pernah bersua kucing-kucing liar yang begitu aeng eongannya. Dan sejak saat itu saya punya standar sendiri dalam membeli kucing.

Salah satu kucing liar yang eongannya bikin saya terpikat, begini bunyinya: "KPK itu musti ditegakkan di tiap RT. Unit kecil yang diisi anak-anak muda pilihan di kantung-kantung terkecil masyarakat. Nalarnya bla..bla..bla...," begitu si kucing liar bermotif kembang telon (konon jenis yang piawai menerkam tikus) itu terus mengeong. Dan saya terpukau.

Kali lain, ada kucing hitam yang mengeong: "Infrastruktur pendidikan musti diputar 180 derajat. TK dan SD menjadi prioritas. Dengan demikian mestinya tenaga pengajarnya minimal S2 dan Kepala Sekolahnya S3, paham psikologi anak dan matang dari segi usia dan pengalaman. Gajinya minimal setara upah ASN eselon 1. Di tangan pendidik-pendidik terbaik inilah karakteristik dasar generasi penerus dipupuk, sehingga pada jenjang pendidikan selanjutnya tersedia bahan baku berkualitas agar apapun kebutuhan SDM kita gampang dipenuhi." Si kucing (konon dulu pernah dipiara Ivan Illich dan Robert Steiner) lantang mengeong, hanya saya yang mendengarkan sambil bengong.

Begitulah. Jadi menurut saya, kucing keren memang ditentukan bunyi eongnya. Sebab, diam-diam saya pelajari, eong kucing yang doyan nyolong pindang, yang berak sembarangan, yang suka nyakar anak tetangga, beda dengan suara eongan kucing yang setidaknya "well educated". Dan sangat beda dengan kucing jenis visioner. Jadi, kalau Anda kucing, mengeonglah dan pikat hati saya. Jangan hanya skut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun