Babak kedua reformasi PSSI sudah bergulir dengan diwarnai permainan keras dan kasar, keduanya punya acuan dan argumen dari 'pelatih' mereka masing-masing.
Masih jelas teringat babak awalnya, ditandai dengan terobosan / gebrakan liga profesional yang sangat membanggakan dan meyakinkan dengan kejelasan schedule, wasit maupun pendanaan non APBD. Simpati masyarakat pun tak terbendung akan sosok figur pendobrak hingga akhirnya memaksa NH keluar lapangan (red card for him !).
Dan memasuki babak kedua ,terjadi keributan yang disebabkan sang figur big bos ga bisa tampil. Ketidakpuasan dengan 'dicekal'nya sang big bos pun membahana baik lewat televisi, koran dan jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter lewat para (saya menyebutnya pejabat) di liga.
Wajar kalau kecewa, namun menjadi tidak wajar bila orang orang yang bisa disebut pejabat liga profesional sampai mengeluarkan kalimat kurang pantas lewat jejaring sosial.
Begitukah perilaku sebenarnya dibalik hembusan profesionalitas sepakbola? Sampai kapan profesionalitas mampu mereka usung kalau orang didalamnya seperti itu?
Akan lebih arif dan bijaksana apabila mereka menyerahkan sepenuhnya kepada pengacara mereka - yang memang sudah 'bergerak' mencari keadilan. Tak perlu lah mencaci maki si A si B, karena jalur untuk protes sudah ada tinggal ditunggu hasilnya.
Melihat apa yang terjadi justru menimbulkan pertanyaan, apa memang diluarnya saja yang profesional sementara orang didalam sebaliknya?
Sepertinya apa yang kini diperjuangkan bukan lagi perubahan serta majunya sepakbola nasional tapi memperjuangkan liga (yang sebenarnya kini telah diakomodir PSSI menjadi liga legal) atau lebih pasnya LPI vs PSSI dan FIFA.
Seperti ada ketakutan kalau liga mereka dinomorduakan nantinya bila sang figur tidak menjadi ketum atau justru bernafsu ingin menjadikan liga mereka menjadi yang nomor satu-menempati kasta teratas nantinya bila si big bos menjabat Ketum PSSI.
Saya bangga melihat ide cerdas mereka sampai bergulirnya Liga Profesional, tapi kini sangat disayangkan, orang-orang didalamnya yang justru merusak 'rasa' profesional yang sudah dibangun lewat kata dan kalimat mereka; menyerang, menuduh, merendahkan, mencaci.. karena calon mereka digugurkan
Bukankah membangun demi kemajuan sepakbola nasional tidak harus menjadikan sang big bos menjadi ketua umum? Bukankah lebih baik fokus dalam mengembangkan liga profesional - yang cukup menjanjikan; bagaimana rencana ke depan, bagaimana sistem promosi degradasi nantinya dsb,
Semoga para pejabat yang pintar tersebut bisa bersikap dewasa, lbh mengedepankan suara profesionalitas daripada mengisi Timeline atau status mereka dengan kalimat yang tak pantas.
Dewasalah dan majulah sepakbola Indonesiaku
___maaf sy bkn orang pintar___