Mohon tunggu...
joko santoso hp
joko santoso hp Mohon Tunggu... Konsultan -

Pemerhati humaniora / Pernah di industri Advertising 18 tahun / Pernah "kesasar" di Senayan 5 tahun / Penggemar Sop Kaki Kambing

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Oase Jaya Suprana

1 Oktober 2015   13:14 Diperbarui: 1 Oktober 2015   16:08 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber gambar: http://kwartetpunakawan.blogspot.co.id)

Saya dan isteri merasa tersanjung menjadi VVIP ketika memperoleh undangan pribadi dari Jaya Suprana untuk hadir di Café Lara Jonggrang.

Saya tak bermaksud melakukan 'balas budi' memenuhi undangan Jaya Suprana ini. Sebulan lalu bersama sembilan tokoh nasional, Jaya Suprana memberikan Kata Pengantar di buku saya "Jalan Tikus Menuju Kekuasaan" terbitan Gramedia. Di situ Jaya Suprana mengungkapkan rasa takjubnya karena -- katanya -- saya sudi berenang di rawa-rawa politik. Saya penasaran karena seorang kawan yang pernah menyaksikan resital ini serius menganjurkan saya agar menyaksikannya.

Jujur, mulanya saya agak ragu. Ada kekhawatiran diri bakal pening karena disuguhi karya Mozart atau requiemnya Faure. Alhamdulillah ternyata meleset total.

Bersama Jubing Kristanto, gitaris legendaris yang empat kali meraih predikat terbaik di negeri ini, lalu Junaedi Sulaeman, jawara perkusi asal Jatim dan Heru Kusnadi yang dianugerahi “Pemetik Bas Emas”… Humorolog sekaligus Kelirumolog sekaligus Jamulog ini menggelar Resital Punakawan Quartet.

Karena alasan klasik macet, saya agak terlambat hadir, sehingga ketinggalan ‘ Es Lilin’ dan “Jenang Gula’, dua dari Sembilan lagu unggulan yang mereka gelar di samping sepuluh lagu lain yang dikelompokkan dalam paket ‘Suita Marzukiana’, karya-karya abadi Ismail Marzuki.

Setelah hari demi hari seakan menjejalahi pengembaraan panjang menjelajahi gurun kering, Jaya Suprana dan kawan-kawannya mengajak kami menuju oase. Denting piano yang bening, petikan gitar yang jernih, dentam bas ditingkah kemplangan perkusi ritmik… membuat tujuh puluh lima menit itu mengggelinding singkat dan tahu-tahu habis.

Tatkala jari-jemari Jaya yang jauh dari lentik itu dengan lembut menekan bilah-bilah piano, mengalirkan ‘Tombo Ati’ yang ngelangut dan sunyi. Kami serasa disorong memasuki ruang senyap untuk berkontemplasi dalam kebersendirian sebagai makhluk maha kecil yang tak berdaya di hadapan Yang Maha Besar. “Tombo Ati… ono limo perkarane, sing kepisan moco Qur’an lan maknane…”.

Namun dalam “Tahu Pong Blues’ yang ia ciptakan, Jaya Suprana seakan merengkuh kami untuk melonjak-lonjak jenaka bagai lampu indikator di amplitude panel sound-system. Tepukan demi tepukan membuncah di akhir setiap lagu.

Ketika sampai pada sajian melo akbar Ismail Marzuki ‘Lambaian Bunga’, Jaya Suprana tampak mencuri-curi kesempatan untuk menyeka matanya yang basah. Ia menangis. “Nun jauh di sana… di lembah tanah airku…”. Musiknya merintih menorehkan sayatan getir, menuntun kami untuk bertanya… ke mana gerangan perginya keelokan Ibu Pertiwi kini.

Saya serasa dilontarkan Jaya Suprana ke puncak klimaks melalui lagu ini. Dengan musik Jaya menggandeng tangan kita semua untuk meretas, menelusuri dan menemukan bahwa ada yang salah dalam tatanan hidup bersama kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun