Mohon tunggu...
joko santoso hp
joko santoso hp Mohon Tunggu... Konsultan -

Pemerhati humaniora / Pernah di industri Advertising 18 tahun / Pernah "kesasar" di Senayan 5 tahun / Penggemar Sop Kaki Kambing

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hari Ini Genap 32 Tahun

2 Oktober 2015   09:33 Diperbarui: 2 Oktober 2015   09:46 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini 32 tahun lalu kita sepakat. Untuk bersama-sama menuju ke sebuah tempat. Tangan kita menjinjing bareng-bareng sebuah pot tanah liat. Ada sebuah tunas kecil di dalamnya.

Pot itu rapuh. Ia bisa saja lusuh. Rengat. Rentan jatuh, atau bahkan direbut musuh.

Kala itu aku tak pernah tahu pasti ke mana tujuan kita sebenarnya. Tapi yang jelas arahnya ke barat. Gombal saja jika aku menjanjikan bahwa kita akan bahagia. Namun yang pasti aku butuh seseorang untuk berjalan bersamaan. Karena gurun yang akan kita jelajahi terlalu luas diarungi sendirian.

Pokoknya ke barat…

Aku tahu kala itu kau sempat menoleh. Karena banyak orang bergegas memburu sesuatu justru ke timur. Namun aku meyakini pilihanku. “Kita dan mereka sesungguhnya sama-sama tak jelas” ujarku kala itu, “Ini hanya soal keyakinan. Tak ada yang benar dan tak ada yang salah”.

Aku juga tak mengundang Malaikat ketika ijab kabul kita. Mereka hadir dengan sendirinya. Maka ketika 70 pasang sayapnya mengepak turun di ruangan akad nikah dan mulut mereka mengamini kata demi kata yang kuikrarkan, aku sendiri merasa takjub. Ternyata pernikahan kita bukan main-main. Itu sebuah komitmen.

Namun aku tahu pasti, aku tak akan sempurna. Aku menjanjikan sebuah perjalanan panjang perkawinan yang melelahkan. Namun juga mengasyikkan. Kau pasti masih ingat. Baru setahun usia pernikahan… cincin kawin pemberian ibu harus kita jual untuk membayar listrik. Ibu hanya tersenyum ketika aku takut-takut melaporkannya. Belasan kali aku harus pindah kerja, karena kusisipkan pamrih pribadi “pembuktian diri” di balik alasan mencari nafkah. Hidup tak beda dengan naik jet coaster yang mendebarkan. Mengayun keberanian kita untuk berspekulasi. Dan kadang-kadang kita mabuk olehnya.

Lalu anak-anak kita lahir. Aku bisikkan kalimat-kalimat adzan ke telinga mereka, agar kelak terjaga dari suara buruk. Kita sematkan nama terindah, agar pribadi mereka berpendar cahaya keelokan. Kita ajari ci-luk-ba. Agar kelak mereka tak heran menyaksikan keganjilan ulah manusia. Dan kini mereka telah menjinjing pot mereka sendiri. Terserah mereka akan membawa ke mana. Tak mesti menapaktilasi langkah kita. Mereka harus menjadi diri mereka sendiri.

Pot itu tak lagi sempurna. Ia terdera oleh perjalanan panjang. Ia rengat di beberapa sudutnya. Ia juga lusuh. Namun yang pasti masih tetap di tangan kita. Pohonnya telah tumbuh besar. Akarnya menjalar ke mana-mana. Ia indah pada waktunya. Hingga tiba saatnya… kelak kita kembalikan ia ke hadapan Tuhan.

“Allah. Kami telah menjaganya. Sejauh yang kami bisa. Maafkan jika tak sempurna…”.

Kita telah berlari marathon sepanjang 32 tahun. Kita masih terus berjalan. Jika sampai ke angka 33, itu sama dengan bacaan tahmid dan takbir. Jika diberi lebih, itu artinya kita masih akan diuji. Asyik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun