Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Money

Nasionalisasi: Siapkah Kita?

16 Februari 2012   12:04 Diperbarui: 6 Desember 2015   07:37 1253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Gelombang nasionalisasi terjadi begitu kuat di paruh kedua dasawarsa pertama abad ke-21 di berbagai Negara penghasil minyak, misalnya Bolivia, Ekuador, Rusia, dan Venezuela.

Mengutip laporan untuk Kongres Amerika, (Pirog, 2007):

“Pada bulan Juni 2007, ExxonMobil Corporation dan ConocoPhillips, dua perusahaan minyak terbesar di Amerika Serikat melepas proyek investasi minyak jutaan dollar mereka di Orinoco, Venezuela. Tindakan ini terjadi menyusul gagalnya negosiasi antara perusahaan-perusahaan tersebut dengan pemerintah Hugo Chávez dan perusahaan minya nasional, Petróleos de Venezuela (PDV). Empat perusahaan minyak multi-nasional lainnya (Total. S.A. Prancis, Statoil Norwegia, BP Inggris, dan Chevron Amerika Serikat) menyetujui perjanjian yang menaikan persentase kepemilikan saham PDV di Orinoco dari 40% menjadi 78%”.

Ditinjau dari sudut pandang penghasilan negara, ide nasionalisasi seperti yang dilakukan Venezuela adalah ide yang sangat menggiurkan. Banyak pihak menganjurkan ide ini sebagai solusi masalah utang Republik Indonesia. Singkat kata, akuisisi saham tambang-tambang dan BUMN yang sahamnya dimiliki negara-negara asing akan memperbesar pendapatan RI di masa datang dapat digunakan untuk selekas mungkin melunasi hutang.

Di luar masalah mentalitas dan politik yang sudah cukup sering dikaji di berbagi tulisan, termasuk di Kompasiana[1], tulisan ini bermaksud melihat apa yang mungkin terjadi sebagai dampak dari nasionalisasi asset-aset pertambangan minyak dan gas bumi (migas) dari tinjauan makro ekonomi: kesenjangan sosial dan lesunya sektor-sektor non-booming.

Sebelum melihat langsung kepada kedua dampak tersebut, ada baiknya untuk sekilas melihat alasan suatu Negara melakukan privatisasi asset-asetnya kepada pihak (Negara) asing.

Secara teori, suatu pemerintahan yang tidak efisien dalam berproduksi akan menjual hak kepemilikan asset-asetnya kepada produser yang paling efisien (teorema Coase). Dalam prakteknya, tindakan privatisasi terbukti meningkatkan efisiensi produksi (Megginson, 2005). Fenomena ini terjadi paling nyata di sektor tambang minyak (Yergin, 1991).

Berkat ekonomi skala dan keunggulan di sisi sumber daya manusia perusahaan-perusahaan minyak multi-nasional umumnya memiliki tingkat efisiensi yang sangat tinggi. Pengalihan kepemilikan aset seperti pertambangan dari pihak swasta ke pemerintah (nasionalisasi) pada umumnya akan berakibat pada berkurangnya efisiensi yang merembet kepada penurunan produksi dan pada akhirnya pengurangan pendapatan negara dalam suatu masa transisi.

Pada masa lampau, masa transisi di mana produksi asset migas melemah ini bisa berlangsung cukup lama. Nasionalisasi ladang-ladang minyak Bolivia dari tangan perusahaan Amerika Serikat, Standard Oil pada tahun 1938 berkibat pada penurunan produksi minyak Bolivia secara drastic yang baru kembali terkejar di tahun 1952 setelah pemerintah Bolivia berinvestasi besar-besaran di bidang pendidikan teknik perminyakan (Andersen et al. 2006).

Produksi minyak Meksiko di bawah pemerintahan presiden Lázaro Cárdenas juga mengalami stagnasi paska nasionalisasi di tahun 1938. Baru sekitar pertengahan tahun 40-an, tingkat produksi sebelum nasionalisi bisa terkejar kembali. Lamanya masa transisi di masa lampau ini diakibatkan terutama karena ketidaksiapan SDM di Negara-negara tersebut. Di masa sekarang, masa transisi umumnya terjadi dalam waktu yang lebih singkat karena kesenjangan SDM antara Negara pemilik asset dan perusahaan-perusahaan asing umumnya sudah semakin sempit.

Dampak nasionalisasi dan produksi sektor non-migas

Selewat masa transisi ini, roti manna nasionalisasi asset-aset migas umumnya dapat dirasakan dengan naiknya pendapatan nasional dengan pesat dari hasil export migas. Naiknya pendapatan negara akan memberikan banyak opsi bagi pemerintah untuk melakukan berbagai pembenahan ataupun perbaikan prasarana, misalnya pengurangan pajak-pajak yang tidak efisien di berbagai sektor, peningkatan investasi prasarana-prasarana umum, transfer pendapatan kepada masyarakat miskin, ataupun pembayaran hutang luar negeri.

Meningkatnya pendapatan negara lewat peningkatan pesat sektor non-migas umumnya juga akan diikuti oleh penguatan mata uang (misalnya rupiah). Naiknya ekspor migas secara mendadak menyebabkan masuknya mata uang asing dalam jumlah besar ke dalam negeri yang secara otomatis meningkatkan apresiasi terhadap kurs mata uang lokal (rupiah). Tanpa kebijakan yang memadai, apresiasi yang mendadak terhadap mata uang lokal akibat naiknya ekspor migas ini bisa berujung pada terjadinya penyakit Belanda[2] (Dutch Disease).

Penyakit Belanda adalah suatu fenomena di mana peningkatan pendapatan negara karena naiknya ekspor hasil-hasil sumber daya alam menyebabkan penguatan kurs mata uang negara tersebut. Penguatan kurs mata uang mengakibatkan naiknya harga produk-produk ekspor sektor lainnya seperti pertanian, fabrikasi, dll yang pada akhirnya akan menyebabkan penurunan daya saing produk-produk sektor-sektor non migas tersebut. Naiknya harga ekspor sektor non-migas, misalnya pertanian menyebabkan pilihan melakukan impor hasil-hasil pertanian lebih ekonomis untuk dilakukan. Pada akhirnya sektor pertanian dan sektor-sektor non-migas lainnya akan mengalami resesi.

Dampak pada kesenjangan sosial ekonomi

Resesi yang terjadi pada sektor non-migas tidak hanya terjadi akibat fenomena penyakit Belanda. Tekanan di sektor-sektor tersebut juga akan menyebabkan terjadinya perpindahan atau mobilisasi tenaga kerja dari sektor non-migas ke sektor-sektor migas yang sedang booming. Perpindahan tenaga kerja sektor pertanian ke sektor pertambangan pada umumnya hanya akan menambah besarnya jumlah tenaga kasar di sektor pertambangan yang umumnya bergaji rendah.

Di sisi lain, booming di sektor migas juga berarti konsentrasi pemerintah untuk membangun prasarana dan SDM di sektor-sektor yang terkait. Hal ini berarti penumpukan investasi di sektor pendidikan untuk menghasilkan sebanyak mungkin tenaga kerja terdidik di sektor perminyakan, konstruksi dan sektor-sektor terkait lainnya. Di sisi lain pendidikan sektor-sektor non-migas atau sektor-sektor yang tidak terkait dengan booming akan terbengkalai.

Siapkah kita?

Nasionalisasi seringkali dipandang sebagai suatu solusi yang menggiurkan untuk menaikan pendapatan negara dalam tenggang waktu yang singkat dan tidak jarang dianggap sebagai pemecahan dalam masalah hutang luar negeri. Namun di sisi lain dampak nasionalisasi, dari segi makro-ekonomi bisa menjadi bumerang bagi perekonmian negara: resesi di sektor-sektor non-booming dan naiknya kesenjangan sosial sebagai dampak dari terciptanya lapisan masyarakat miskin yang baru.

Kesiapan Indonesia untuk mengantisipasi dampak negatif nasionalisasi paling tidak harus dilakukan dalam berbagai area:

· Kebijakan finansial yang tepat untuk mencegah terjadinya penguatan mata uang (rupiah) secara mendadak untuk menghindari fenomena penyakit Belanda. Salah satu strategi yang bisa dilakukan adalah dengan menciptakan simpanan atau dana migas (oil funds) atau seperti yang dilakukan oleh negara-negara seperti Norwegia, Rusia, Azerbaijan atau dana untuk generasi mendatang seperti yang dilakukan oleh Kuwait.

· Pematangan sektor-sektor “non-nasionalisasi” seperti pertanian. Strategi khusus harus disiapkan untuk membuat daya saing hasil-hasil pertanian Indonesia tetap tinggi meskipun terjadi penguatan terhadap kurs rupiah. Daya saing yang kuat membutuhkan strategi subsidi produksi pertanian yang menjamin harga ekspor yang stabil dan tetap rendah.

· Pemudahan mobilisasi tenaga kerja antar sektor untuk mencegah terjadinya penciptaan lapisan masyarakat miskin baru. Dalam jangka pendek memang tidak mungkin bagi seorang petani untuk beralih profesi menjadi insinyur perminyakan. Namun dalam jangka panjang, pemerintah harus membuat program-program pendidikan atau pelatihan yang memungkinkan pekerja-pekerja sektor non-booming untuk menjadi tenaga terdidik di sektor yang booming.

Daftar rujukan

Andersen, L.E., J. Caro, R. Faris, M. Medinaceli.. 2006. Natural Gas and Inequality in Bolivia after Nationalization. Development Research Working Paper Series no 05/2006. Institute for Advanced Development Studies. La Paz. Bolivia

Megginson, William L. 2005. The Financial Economics of Privatization. New York: Oxford University Press.

Pirog, Robert. 2007. The Role of National Oil Companies in the International Oil Market. Congressional Research Service Report for the Congress, August 21.

Yergin, Daniel. 1991. The Prize.New York: Simon and Schuster.


Catetan sikil

[1] Terima kasih untuk Mas Olas alias Black Horse yang artikelnya tentang nasionalisasi telah memotivasi dan mengilhami tulisan ini

[2] Istilah ini pertama kali digunakan untuk menyebut suatu fenomena yang terjadi di negeri Belanda saat ditemukannya berbagai sumber-sumber gas alam baru di utara negeri tersebut pada tahun 60-an. Penemuan dan eksploitasi sumber-sumber tersebut mendatangkan pendapatan negara yang sangat besar, namun diikuti oleh resesi di sektor-sektor non-gas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun