Anda pernah mengalami ada anggota keluarga atau saudara yang lenyap atau menghilang tidak jelas rimbanya?
Mak deg!
Itulah hal yang saya rasakan saat menjalani pengalaman seperti ini.
Tidak penting bagaimana saudara kita itu ‘hilang’ atau ‘menghilang’. Yang jelas: sampai nasib atau keberadaannya kita ketahui, seluruh perasaan atau pikiran akan terus tertuju kepada sanak kita itu. Bersama lenyapnya sang sanak, biasanya raib pula alasan kita untuk hidup seperti biasa dan untuk menjalani hari-hari.
Tidaklah usah bertahun-tahun atau berbulan-bulan. Sejam, dua jam, sehari atau beberapa hari saja sudah cukup untuk kita yang pernah mengalaminya untuk berkata: cukup, atau jangan (terjadi) lagi!
Kecemasan, ketidakjelasan, atau kesedihan dan trauma seperti ini yang nampaknya pernah menjadi salah satu senjata ampuh bagi penguasa di beberapa negara untuk merepresi kebebasan warganya sendiri.
Di beberapa negara berbahasa Spanyol, frasa ‘guerra sucia’ atau perang kotor pernah menjadi begitu populer di dekade 60an – 80an. Frasa tersebut merujuk pada masa di mana pemerintahan di beberapa negara hispanohablante tersebut menggunakan kekuatan militer untuk merepresi warga sipilnya sendiri yang dianggap oposan atau separatis.
Kata ‘kotor’ atau sucia dipakai untuk menggambarkan betapa metode represi yang dipakai oleh pihak militer pada dasarnya adalah melanggar hukum atau ilegal termasuk metode penculikan terhadap warga sipil.
Perang ‘terkotor’ sepanjang sejarah terjadi di Argentina di mana pemerintahan junta militer antara 1976 dan 1983 telah melenyapkan sekitar 13000 warga sipil termasuk menculik ratusan anak muda yang dianggap oposan.
Salah satu metode pelenyapan yang dipakai oleh junta militer Argentina dikenal dengan nama ‘el vuelo de la muerte’ atau penerbangan maut di mana sang sandera dibawa terbang dengan pesawat militer untuk kemudian dilemparkan hidup-hidup ke laut.
[caption id="" align="alignnone" width="321" caption="Poster*"][/caption]
Di El Salvador perang saudara (1980-1990) menewaskan 75000 jiwa. Skadron maut gabungan antara polisi dan militer menculik, membunuh dan menakuti warga sipil di pedesaan yang diduga mendukungpartai sosialis FMLN. Filem Romero mengangkat kisah penindasan atas perlawanan warga sipil El Salvador di awal masa perang saudara yang berujung pada kematian Uskup San Salvador Mgr Romero yang ditembak mati oleh militer di saat tengah memimpin misa.
Kita di Indonesia tidak mengenal istilah perang kotor. Namun harus kita akui bahwa sejarah yang kelam juga pernah mencatat praktek penggunaan kekuatan militer untuk merepresi kebebasan warga sipil untuk berkumpul dan berpendapat termasuk mengambil sikap oposan.
Penculikan bahkan pembantaian ribuan warga sipil yang diduga menjadi anggota dan simpatisan PKI paska 1965, represi terhadap warga sipil yang diduga mendukung kaum separatis di Aceh, di mantan propinsi Timor Timur maupun di Papua sampai dengan tindakan penculikan aktifis sipil 1998 hanyalah beberapa catatan gelap yang sayangnya baru bisa kita baca sebagian saja.
Tanggal 9 Juli 2014 adalah saat di mana kita bisa katakancukup! atau jangan lagi!
*kala ada yang hilang kita tidak bisa lupa kita TIDAK BOLEH LUPA
(poster mengenang korban junta militer di Argentina)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H