Gara-gara makan malam yang tidak kira-kira porsinya, jam 01.00 tengah malam itu saya terbangun dengan perut terasa mulas dan panas.Â
Ternyata tidak hanya saya yang terbangun tapi juga dua teman satu bangsal asrama yang tidurnya tidak jauh dari tempat tidur saya, yaitu Pudjo dan Hastomi (nama sesungguhnya, Red.). Di antara seluruh anak asrama, memang kami bertiga inilah yang paling doyan makan sambel goreng pete yang malam tadi jadi lauk utama.
Saling memandang sejenak di temaram bangsal tidur, akhirnya kami saling memberti kode untuk pergi bersama ke jamban asrama yang terletak di luar gedung utama asrama.
Komplek asrama kami di pinggiran satu kota kecil di Jawa Tengah ini sudah berdiri sejak 1918. Bangunan induknya membentuk huruf U dan bangsal tidur kami terletak di salah satu sayapnya. Jambannya sendiri terletak di luar bangungan induk, di tengah kebun pisang milik asrama yang jaraknya sekitar 150 meter dari setiap ujung sayang bangunan.
Situasi geografis seperti ini tentulah membuat tak seorang penghuni asrama pun bernyali untuk pergi sendirian ke jamban di tengah malam. Untuk pergi ke jamban di malam hari, kami selalu mengikuti taktik catur yang dikatakan Grandmaster asal Rusia, Anatoly Karpov yang bunyinya, "satu menyerang dua menjaga" yang artinya "satu dimakan setan, dua melawan". Jadi jika dan hanya jika seorang terpaksa pergi ke jamban di malam hari maka yang bersangkutan akan mengajak dua temannya.Â
Hal itulah yang saat itu kami lakukan.
Dengan bersenjata senter, Pudjo, Hastomi dan saya pun melintasi kegelapan berjalan ke luar bangsal menuju jamban melewati kebun dan rerumpunan pohon pisang.
Mengapa kami agak takut pergi ke jamban asrama di malam hari? Selain karena situasinya yang terlepas dari bangungan induk dan berada di tengah-tengah kebun pisang yang gelap, ada cerita juga yang beredar bahwa di daerah jamban itu seringkali ada suara perempuan Jawa yang oleh kakak-kakak kelas kami disebut sebagai 'Mbakyu'...
Kami melangkah dengan langkah yang panjang. Pertama karena agak takut, kedua karena perut yang melilit. Semakin mendekati jamban, perut saya semakin terasa panas dan isi perut rasanya sudah semakin mendesak ke 'ujung'...
Oh iya, yang kami sebut jamban itu adalah bangunan memanjang yang terdiri atas 5 bilik kakus yang setiap biliknya berisi WC jongkok dan bak air kecil saja. Tinggi langit-langitnya sekitar dua meter lebih, namun pintu setiap bilik hanya setinggi sekitar 1,8 meteran. Dengan demikian bagian atas pintu bilik adalah bagian yang terbuka. Di dalam bilik sendiri tidak ada gantungan atau paku di dindingnya sehingga si pemakai harus menyampirkan celana atau bajunya di atas pintu.
Tak tahan lagi, karena perut semakin mulas, saat jarak tinggal 20 meter saya pun berlari masuk ke bilik yang tengah mendahului kedua teman saya.