Hari-hari di pertengahan bulan Agustus di Eropa pada umumnya merupakan saat di mana waktu terasa bergerak lambat seiring dengan lebih lamanya matahari bersinar dan suhu udara yang lebih tinggi dari biasanya. Dalam suasana santai dan tenang khas musim panas seperti inilah tepat 100 tahun yang lalu Perang Dunia I (PDI) pecah di Eropa. 4 Agustus 1914, dengan tujuan menyerbu Perancis dari utara, pasukan kekaisaran Jerman bergerak menginvasi Perancis dan Luksembourg yang saat itu merupakan negara netral. Invasi ini mendapat perlawanan dari tentara kerajaan Belgia sementara Raja Belgia Albert I meminta pertolongan Perancis dan Inggris yang merupakan penjamin dari kenetralan Belgia. Meski melawan dengan sengit, keunggulan pasukan Jerman tidak tertahankan. Kota-kota Belgia pun jatuh satu per satu ke tangan Jerman yang menjalankan operasi Schlieffen-Moltke. Inti dari operasi ini tidak berbeda jauh dengan strategi perang "capit yuyu" yang sudah dikenal sejak jaman Majapahit: menyerbu ke arah barat daya untuk menguasai Perancis Utara termasuk Paris lewat Belgia dan Luksembourg sambil bergerak berputar kembali ke arah timur yang akan berakibat 'tercekiknya' posisi pasukan Perancis.
[caption id="" align="aligncenter" width="432" caption="Operasi Schlieffen Jerman (sumber: Wikipedia)"][/caption] Operasi ini mencakup penghancuran dan pembakaran habis kota-kota di Belgia yang dilewati pasukan Jerman seperti Visé, Aarschot, Dendermonde, Dinant dan Leuven. Di Leuven misalnya, antara tanggal 25 dan 29 Agustus, pasukan Jerman menewaskan 218 warga termasuk 21 perempuan dan 11 anak-anak. Ratusan warga kota ditangkap dan dikirim ke Munster di Jerman sebagai tawanan. Dalam waktu empat hari saja di musim panas tersebut lebih dari 1000 rumah dan bangunan kota Leuven dibakar, termasuk perpustakaan universitas dan gereja Sint Pieter di tengah kota. [caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Perpustakaan Kota Leuven yang Dibakar Jerman 25 Agustus 1914 (sumber : wikipedia)"]
Perpustakaan Kota Leuven yang Dibakar Jerman 25 Agustus 1914 (sumber : wikipedia)
[/caption]
[caption id="attachment_337661" align="aligncenter" width="490" caption="Perpustakaan Leuven 2013 (dok.pri)"]
[/caption]
[caption id="" align="aligncenter" width="490" caption="Alun-alun Kota Leuven Agustus 1914 (www.martelaarsteden.be)"][/caption]
[caption id="attachment_337662" align="aligncenter" width="490" caption="Alun-alun kota Leuven 2013 (dok.pri)"]
[/caption] PDI sendiri yang baru berakhir empat tahun kemudian (1918) akhirnya menyeret hampir seluruh negara di Eropa dan negara-negara benua lain di dunia seperti Amerika Serikat, negara-negara persemakmuran maupun negara-negara koloni Eropa di Afrika. Menurut catatan wikipedia, diperkirakan 9 juta manusia tewas selama empat tahun perang tersebut atau
6000 nyawa melayang per hari. Di luar itu, 8 juta manusia mengalami cacat akibat perang dan tidak terhitung banyaknya penduduk yang tercerai berai karena eksodus, mengungsi maupun ditawan karena perang.
Penyebab dan pemicu perang Secara sederhana, pengkutuban negara-negara di Eropa pada akhir abad 19- awal abad ke-20 merupakan salah satu penyebab pecahnya Perang Dunia I. Dua kutub utama pada akhir abad ke-19 adalah Kekaisaran Jerman dan Perancis hubungan politiknya memburuk sejak aneksasi wilayah Perancis Alsace dan Lorraine oleh Jerman pada tahun 1871. Jerman membentuk aliansi dengan kerajaan Austria-Hongaria (yang pada saat itu merupakan satu negara) pada tahun 1879 lalu dengan Italia pada tahun 1881 yang berkonflik dengan Perancis di tanah jajahan, Tunisia di Afrika Utara. Di sisi lain, Perancis sendiri diam-diam menandatangi perjanjian militer dengan Rusia pada tahun 1893 lalu dengan Inggris pada tahun 1904 sebagai persiapan untuk menghadapi naiknya pengaruh Jerman di Afrika.
[caption id="" align="aligncenter" width="539" caption="Aliansi Negara-Negara Eropa 1914 (wikipedia)"]
Aliansi Negara-Negara Eropa 1914 (wikipedia)
[/caption] Pemicu dari pecahnya PDI sendiri sesungguhnya justru terkait dengan negara-negara yang tidak langsung bergabung dengan dua aliansi di atas. Tengah hari bolong 28 Juni 1914, Gavrilo Princip, seorang nasionalis Bosnia asal Serbia menembak mati Adipati Franz Ferdinand dari Austria beserta istrinya di jalanan di Sarajevo. Princip merupakan bagian dari pergerakan pro-kemerdekaan Serbia-Bosnia Herzegovina yang 6 tahun sebelumnya (1908) telah dianeksasi Austria-Hongaria. Pembunuhan ini segera menyeret kekaisaran Jerman sebagai pelindung kerajaan Austria-Hongaria secara politik berhadap-hadapan langsung dengan Rusia yang merasa sebagai pelindung negara-negara di wilayah Balkan. Yang terjadi selanjutnya adalah efek domino: -Â Â Â Â Â Â Â Â Â 28 Juli 1914, Austria-Hongaria menyatakan perang terhadap Serbia lalu terhadap Rusia -Â Â Â Â Â Â Â Â Â 1 Agustus 1914, Jerman menyatakan perang terhadap Rusia -Â Â Â Â Â Â Â Â Â 2 Agustus 1914, Perancis memanggil warganya untuk mobilisasi militer -Â Â Â Â Â Â Â Â Â 3 Agustus 1914, Jerman menyatakan perang terhadap Perancis (sambil mengultimatum dua negara netral, Belgia dan Luksembourg agar tidak menghalangi pergerakan pasukan Jerman menuju Perancis) -Â Â Â Â Â Â Â Â Â 4 Agustus 1914, Inggris menyatakan perang terhadap Jerman Not in my backyard? Hari-hari ini, 100 tahun kemudian berbagai acara peringatan diadakan di berbagai negara di Eropa. Di Belgia acara dipusatkan di Mons dan Liege pada tanggal 4 Agustus 2014 yang lalu dan minggu ini di kota-kota di Flandria seperti Aarschot. Sebagaimana dilansir harian Belgia La Libre 4 Agustus 2014, berpidato pada rangkaian perayaan di Liege , seakan mewakili pihak yang 'jahat' pada perang Dunia tersebut, Presiden Jerman, Joachim Gauck mengakui betapa nasionalisme Jerman telah menjadi penyebab pecahnya PDI. Sangat menarik untuk menyimak pesan presiden Gauck yang menyatakan bahwa sikap nasionalisme (dalam artian negatif) "telah membutakan hati dan jiwa". Menurut Gauck, saat itu tidak satu norma peradaban, budaya, agama atau akal sehat pun mampu menyetop rasa nasionalisme Jerman saat itu. Lebih lanjut Gauck bahkan menambahkan bahwa lebih dari sekedar nasionalisme yang berlebihan, bangsa Jerman saat itu merasa memiliki hak moral bahkan agama untuk membenarkan tindakan militernya. Dalam konteks konflik dunia saat ini, apa yang dinyatakan presiden Joachim Gauck sangatlah menarik: nasionalisme yang berlebihan menimbulkan pembenaran atau justifikasi yang seakan memberi hak kepada suatu pihak untuk melakukan tindakan militer atas pihak lain. Saat dunia dan terutama benua Eropa memperingati 100 tahun pecahnya Perang Dunia I yang bagi negara-negara Eropa menimbulkan trauma hingga saat ini (dan seterusnya) di belahan bumi lain terutama di Timur Tengah roket masih terus menghantam daerah-daerah pemukiman yang padat dan ratusan bahkan ribuan orang terpaksa melakukan eksodus untuk menghindari zona konflik atau karena diusir karena hak untuk hidupnya dianggap tidak ada lagi. Tidak belajarkah kita dan para pemimpin dunia dari trauma ini? Tidak belajar jugakah kita dari kebiasaan bermain-main dengan keputusan geo-politik yang sewaktu-waktu bisa meletupkan perang dengan skala yang besar? Atau karena konflik sekarang ini tidak berlangsung di pekarangan belakang rumah kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Humaniora Selengkapnya