Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Money

Biofuel & Bubur Cangjo Mbah Duloh

19 Maret 2012   13:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:47 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: aljami.files.wordpress.com)

Bagaimana dampak penggunaan biofuel terhadap harga bubur kacang ijo Mbah Duloh? Rencana naiknya harga bensin akhir-akhir ini membuat saya teringat pada Mbah Duloh (mungkin sekarang sudah almarhum), pedagang keliling bubur kacang ijo (hijau) yang pada jaman saya masih kecil dulu selalu setia setiap sore mengitari kampung saya di Jakarta Timur. Bubur kacang ijo Mbah Duloh dulu sangat terasa super nyamleng dan baunya sungguh harum tak terkira. Sampai sekarang bau harumnya masing terngiung-ngiung di hidung saya (kalau terngiang-ngiang itu di telinga, red.) . Jika Mbah Duloh dan gerobaknya lewat, selalulah saya minta ibu saya untuk membelikan semangkuk. Kalau tidak dibelikan, saya sudah cukup puas untuk berdiri di samping gerobaknya sambil memperhatikan si simbah melayani pembeli dan mengendus-endus bau harum luar biasa bubur kacang ijo panas yang keluar mengepul-ngepul dari panci...wahh sedup sekali... [caption id="" align="alignright" width="240" caption="(sumber: aljami.files.wordpress.com)"][/caption] Pada saat yang sama pula, dahulu kala, kami sekeluarga sering bepergian ke luar kota naik mobil vw kodok istimewa kududuk di muka. Saya ingat betapa dulu saya tidak tahan dengan aroma bensin, apalagi saat perjalanan jauh lebih dari 3 atau 4 jam, misalnya saat liburan sekolah atau lebaran (ke Mbekonang...). Walau sudah diberi obat tjap Antimo (obat anti mabuk, laut, darat dan udara...) dan jendela mobil sudah dibuka agar angin semilir bisa masuk, kepala saya tetap saja pusing dan mual ingin muntah. Kalau sudah begitu, mata saya pejamkan rapat-rapat lalu membayangkan bubur kacang ijo Mbah Duloh yang aromanya wangi sambil berangan-angan...ah andaikata mobil vw kodok bapak saya ini bisa berjalan dengan tenaga bubur kacang ijo mbah Duloh pasti saya tidak mabuk dan mual seperti ini... Ternyata intuisi dan angan-angan saya waktu kecil dulu tentang mobil bertenaga bubur kacang ijo yang beraroma harum cukup beralasan. Hari ini banyak orang yang mempermasalahkan polusi yang dikeluarkan bersamaan dengan asap knalpot dari kendaraan yang berbahan bakarkan minyak bumi (seperti solar dan premium). Rasa mual dan pusing saya saat naik mobil waktu kecil dulu ternyata hanya satu efek saja dari menghirup uap bensin. Senyawa kimia seperti seperti karbon monoksida, nitrogen dioksida, partikel debu, methan, dan lain-lain sudah dikenal memberikan berbagai dampak buruk untuk kesehatan. Emisi senyawa karbon dioksida dari knalpot kendaraan juga diperkirakan mempercepat proses akumulasi karbon di atmosfer dan mendukung terjadinya pemanasan global. Manusia abad 21 mencari alternatif bahan bakar kendaraan yang asapnya "harum" seperti asap bubur cangjo Mbah Duloh... Selain masalah emisi (gas buang), masalah ketersediaan dan produksi bahan bakar minyak bumi juga semakin memprihatinkan. Ramalan paling mengkuatirkan dikeluarkan oleh the Energy Watch di Jerman: kapasitas total produksi minyak dunia pada tahun 2030 hanya akan separuh dari yang kita bisa produksi hari ini. (Tentang ini silaken lihat tulisan saya dahulu kala di sini). Salah satu indikasi berkurangnya kapasitas produksi minyak adalah harga bensin yang semakin sulit dipertahankan seperti yang akan terjadi dalam waktu dekat di negara kita. Satu solusi yang ramai digagas terkait dengan masalah lingkungan, kesehatan dan ketersediaan enerji di atas adalah penggunaan bahan bakar biofuel. Biofuel pada dasarnya adalah bahan bakar yang diproduksi dari sumber-sumber nabati. Biofuel generasi pertama dihasilkan dari alkohol yang didapat dari pengembangbiakan tumbuh-tumbuhanan yang mengandung gula atau amilum (pati) yang tinggi seperti tebu, jagung,  maupun lewat minyak nabati dari pengembangbiakan kelapa sawit, palem, dan kacang kedelai. Biofuel generasi baru diproduksi dari tumbuh-tumbuhan non tanaman pangan, seperti jarak, alang-alang, rumput laut, kulit jagung, jerami, sampah nabati... Penggunaan biofuel sebagai bahan bakar alternatif, maupun sebagai campuran dari bahan bakar fosil diperkirakan akan sanggup mengurangi dampak lingkungan, kesehatan, perubahan iklim dan diharapkan mampu mengurangi ketergantungan manusia bumi akan bahan bakar fosil (BBM) dan selanjutnya menahan kenaikan harga enerji secara umum. [caption id="" align="alignright" width="200" caption="biodiesel sebagai alternatif diesel konvensional (sumber: wikimedia)"]

[/caption] Secara teknis, sudah bukan masalah lagi untuk menghasilkan biofuel generasi pertama. Berbagai negara maupun perserikatan negara-negara sudah beberapa tahun terakhir mencapai berbagai kesepakatan tentang target penggunaan enerji terbarukan, seperti enerji listrik, hidrogen, dan biofuel. Namun secara ekonomi, kita bisa melihat penggunaan biofuel berpotensi menimbulkan masalah. Masalah apa? Kembali ke bubur Cangjo Mbah Duloh... (kalau kembali ke laptop itu Tukul Arwana, demikian kata Mas Alex). Kita umpamakan bahwa kacang ijo (vigna radiata) pun dipakai untuk memproduksi biofuel. Dengan tersedianya biodiesel dari kacang ijo di pasaran, maka permintaan akan kacang ijo pun akan meningkat. Sektor pertanian kacang ijo yang tadinya hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan akan dituntut juga untuk memenuhi kebutuhan akan bahan bakar (biodiesel). Jika produksi kacang ijo tidak meningkat, maka pertambahan permintaan akan menaikkan harga kacang ijo. Harga kacang ijo di pasar (untuk dimakan) akan naik, dan demikian juga harga bubur kacang ijo yang dijual Mbah Duloh dengan gerobak kelilingnya. Konsumsi kacang ijo sebagai pangan mungkin tidak besar di negara kita. Namun bagaimana yang akan terjadi jika bahan baku biofuel tersebut adalah jagung atau tebu? Selain persaingan permintaan seperti di atas, hal lain yang sangat mungkin terjadi adalah persaingan lahan. Pada tahun 2008, Uni Eropa menargetkan bahwa 5,6% dari total komposisi enerji transportasi di Eropa pada tahun 2020 akan berupa biofuel (generasi pertama).Hanya dalam waktu empat tahun sejak dicanangkan, kini Uni Eropa meninjau kembali target biofuel tersebut. Ada apa gerangan? Selama empat tahun terakhir, berbagai laporan telah menyebutkan bagaimana para pengusaha biofuel yang rakus di negara-negara di Asia dan Amerika Selatan melakukan peralihan fungsi lahan: ribuan hektar lahan tanaman pangan disulap menjadi lahan tanaman penghasil biofuel. Akibatnya: produksi tanaman biofuel meningkat dengan mengorbankan produksi tanaman pangan. Menurunnya produksi tanaman pangan menyebabkan naiknya harga bahan pangan di negara-negara tersebut. Kembali rakyat kecil mengalami kesulitan membeli bahan pangan. Selain peralihan fungsi lahan tanaman pangan, demam biofuel juga dilaporkan telah mengakibatkan deforestation besar besaran: pembakaran dan penebangan hutan untuk dialihfungsikan menjadi lahan biofuel. Kendaraan berbahan bakar biofuel memang berasap bersih, tapi hutan yang dibakar asapnya jauh lebih hitam... Kenaikan harga bahan pangan lewat persaingan permintaan maupun persaingan lahan adalah hal yang harus dipikirkan secara matang jika negara kita ingin mempopulerkan bahan bakar biofuel sebagai bahan bakar alternatif. Mekanisme regulasi dan proteksi terhadap sektor pertanian dan harga tanaman pangan merupakan isu nomor satu yang harus disiapkan. Kajian lintas sektoral adalah kunci persiapan untuk kebijakan ini. Isu lain yang tak kalah pentingnya adalah pengertian bahwa emisi tidak hanya terjadi muara: di jalanan, lewat knalpot kendaraan, tapi juga di hulu: bagaimana bahan bakar tersebut diproduksi. Menghasilkan biofuel dengan membabat hutan adalah sama sami mawon dengan ide mobil bertenaga listrik sementara pembangkit listriknya tetap bertenaga minyak bumi. Catatan kaki: - Biodiesel berbahan baku kacang ijo sudah diproduksi di Cina - Catatan lain tentang perlunya kajian lintas sektoral bisa dilihat di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun