Bagaimana dampak penggunaan biofuel terhadap harga bubur kacang ijo Mbah Duloh? Rencana naiknya harga bensin akhir-akhir ini membuat saya teringat pada Mbah Duloh (mungkin sekarang sudah almarhum), pedagang keliling bubur kacang ijo (hijau) yang pada jaman saya masih kecil dulu selalu setia setiap sore mengitari kampung saya di Jakarta Timur. Bubur kacang ijo Mbah Duloh dulu sangat terasa super nyamleng dan baunya sungguh harum tak terkira. Sampai sekarang bau harumnya masing terngiung-ngiung di hidung saya (kalau terngiang-ngiang itu di telinga, red.) . Jika Mbah Duloh dan gerobaknya lewat, selalulah saya minta ibu saya untuk membelikan semangkuk. Kalau tidak dibelikan, saya sudah cukup puas untuk berdiri di samping gerobaknya sambil memperhatikan si simbah melayani pembeli dan mengendus-endus bau harum luar biasa bubur kacang ijo panas yang keluar mengepul-ngepul dari panci...wahh sedup sekali... [caption id="" align="alignright" width="240" caption="(sumber: aljami.files.wordpress.com)"][/caption] Pada saat yang sama pula, dahulu kala, kami sekeluarga sering bepergian ke luar kota naik mobil vw kodok istimewa kududuk di muka. Saya ingat betapa dulu saya tidak tahan dengan aroma bensin, apalagi saat perjalanan jauh lebih dari 3 atau 4 jam, misalnya saat liburan sekolah atau lebaran (ke Mbekonang...). Walau sudah diberi obat tjap Antimo (obat anti mabuk, laut, darat dan udara...) dan jendela mobil sudah dibuka agar angin semilir bisa masuk, kepala saya tetap saja pusing dan mual ingin muntah. Kalau sudah begitu, mata saya pejamkan rapat-rapat lalu membayangkan bubur kacang ijo Mbah Duloh yang aromanya wangi sambil berangan-angan...ah andaikata mobil vw kodok bapak saya ini bisa berjalan dengan tenaga bubur kacang ijo mbah Duloh pasti saya tidak mabuk dan mual seperti ini... Ternyata intuisi dan angan-angan saya waktu kecil dulu tentang mobil bertenaga bubur kacang ijo yang beraroma harum cukup beralasan. Hari ini banyak orang yang mempermasalahkan polusi yang dikeluarkan bersamaan dengan asap knalpot dari kendaraan yang berbahan bakarkan minyak bumi (seperti solar dan premium). Rasa mual dan pusing saya saat naik mobil waktu kecil dulu ternyata hanya satu efek saja dari menghirup uap bensin. Senyawa kimia seperti seperti karbon monoksida, nitrogen dioksida, partikel debu, methan, dan lain-lain sudah dikenal memberikan berbagai dampak buruk untuk kesehatan. Emisi senyawa karbon dioksida dari knalpot kendaraan juga diperkirakan mempercepat proses akumulasi karbon di atmosfer dan mendukung terjadinya pemanasan global. Manusia abad 21 mencari alternatif bahan bakar kendaraan yang asapnya "harum" seperti asap bubur cangjo Mbah Duloh... Selain masalah emisi (gas buang), masalah ketersediaan dan produksi bahan bakar minyak bumi juga semakin memprihatinkan. Ramalan paling mengkuatirkan dikeluarkan oleh the Energy Watch di Jerman: kapasitas total produksi minyak dunia pada tahun 2030 hanya akan separuh dari yang kita bisa produksi hari ini. (Tentang ini silaken lihat tulisan saya dahulu kala di sini). Salah satu indikasi berkurangnya kapasitas produksi minyak adalah harga bensin yang semakin sulit dipertahankan seperti yang akan terjadi dalam waktu dekat di negara kita. Satu solusi yang ramai digagas terkait dengan masalah lingkungan, kesehatan dan ketersediaan enerji di atas adalah penggunaan bahan bakar biofuel. Biofuel pada dasarnya adalah bahan bakar yang diproduksi dari sumber-sumber nabati. Biofuel generasi pertama dihasilkan dari alkohol yang didapat dari pengembangbiakan tumbuh-tumbuhanan yang mengandung gula atau amilum (pati) yang tinggi seperti tebu, jagung, maupun lewat minyak nabati dari pengembangbiakan kelapa sawit, palem, dan kacang kedelai. Biofuel generasi baru diproduksi dari tumbuh-tumbuhan non tanaman pangan, seperti jarak, alang-alang, rumput laut, kulit jagung, jerami, sampah nabati... Penggunaan biofuel sebagai bahan bakar alternatif, maupun sebagai campuran dari bahan bakar fosil diperkirakan akan sanggup mengurangi dampak lingkungan, kesehatan, perubahan iklim dan diharapkan mampu mengurangi ketergantungan manusia bumi akan bahan bakar fosil (BBM) dan selanjutnya menahan kenaikan harga enerji secara umum. [caption id="" align="alignright" width="200" caption="biodiesel sebagai alternatif diesel konvensional (sumber: wikimedia)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H