Sampai sekitar tahun 2010-an, kalau saya pakai celana pendek untuk pergi ke warung, pasar swalayan, rumah makan, pasar, atau mal atau sekedar ngopi, maka pasti ada salah satu teman saya yang nanyeak:
"Pe, kok pakai celana pendek? Mau narik becak?"
atau,
"Pe, dicari satpam tuh, becaknya di parkiran dimainin anak-anak"
Memang sih. Sampai akhir dekade pertama abad XXI (baca: dua puluh satu), orang dewasa pria yang memakai celana pendek di Indonesia sebagaian besar memang bapak-bapak tukang becak. Maka, tanpa maksud merendahkan profesi penarik becak, para pria dewasa pada masa-masa itu yang mengenakan celana pendek di tempat umum pasti diakan diasosiasikan secara informal sebagai penarik becak.
Pinjam istilah kompasianer Prof Febrianov, saya sih nggak apa-apa, aku sih rapopo.
Pertama, narik becak adalah profesi yang sangat mulia sekaligus green job, ramah lingkungan, anti perubahan iklim, walau ada kesan tereksploitasi. Kedua, pakai celana pendek memang sangat nyaman, apalagi di kota-kota di Indonesia yang bersuhu panas dan lembab. Â
Di negara tropis, menurut saya, celana pendek sangat baik dipakai para pria, baik anak-anak maupun dewasa. Selain keleluasaan bergerak, celana pendek memungkinkan adanya sirkulasi udara yang sangat baik untuk kebersihan maupun kesehatan daerah selangkangan kaum pria. Sirkulasi udara yang baik akan sangat mengurangi kelembaban. Ingatlah bahwa selangkangan yang lembab dan panas sangat dicintai bakteri-bakteri maupun berbagai jenis fungus untuk berkembang biak.
Inginkah Anda, para bapak memiliki selangkangan yang jadi lahan subur alias ekosfer untuk budidaya berbagai bakteri dan fungus? Saya sih nggak.
Tapi itu dulu, sekitar 10 tahunan yang lalu. Coba kita lihat jaman sekarang.Â