"Kamu itu mbok kayak teman-temanmu yang lain.."
Sebuah permintaan atau harapan yang sepintas lalu terdengar sangat lumrah, namun sebenarnya sangat aneh alias absurd.Â
Menjadi sama seperti semua orang: sebuah litani yang henti membebani dan yang tak pernah mati.
Para menyandang tuna grahita atau disabilitas intelektual tak pelak adalah satu dari sekian kelompok masyarakat yang terbebani oleh tuntutan untuk menjadi sama kayak yang lain.
Yang menjadi soal adalah bahwa penyetaraan kesempatan bagi teman-teman penyandang disabilitas intelektual adalah keadilan yang semu belaka.Â
Teman-teman penyandang tuna grahita tak mungkin bisa bersaing dengan kita yang (maaf) normal di berbagai bidang seperti akademis atau pekerjaan.Â
Keterbatasan fungsi kognitif mereka terlampau besar untuk dilawan sendirian. Hambatan-hambatan dalam hal kemampuan berkomunikasi, bersosialisasi, maupun untuk merawat diri sendiri terlalu pelik untuk diatasi seorang diri.
Lebih dari sekedar penyetaraan kesempatan, kawan-kawan penyandang disabilitas intelektual jelas membutuhkan perhatian dan dukungan yang lebih.
Filsuf Martha Nussbaum (2006) secara tegas menyebutkan bahwa keadilan bagi penyandang disabilitas harus mencakup segala perlakuan istimewa yang diperlukan agar mereka bisa menjalani hidup yang pantas.Â
Hidup yang pantas, menurut filsuf Amartya Sen (1992) dapat diukur dari seberapa besar kebebasan yang dimiliki individu yang bersangkutan untuk membuat pilihan-pilihan yang berkualitas dalam hidupnya. Pilihan-pilihan berkualitas dalam hidup seseorang tentu dinilai dari pencapaian-pencapaiannya.Â