Suatu Minggu pagi di musim panas tahun 1999. Jam weker saya belum sampai 5.30 saat telefon di kamar saya berdering.
"Halo, Mas Jepe? Ini Mulyanto. Saya boleh mampir sebentar di flat Mas untuk numpang ke kamar kecil?"
Saya pun mengiyakan dan langsung bergegas berganti baju lalu turun ke lantai dasar flat mahasiswa yang terletak di pinggir ibu kota salah satu negara Eropa.Â
Di depan pintu flat, sudah berdiri Pak Mulyanto, seorang Bapak berambut beruban di awal usia 60 tahunan yang baru saja menelepon saya untuk menumpang mampir ke kamar kecil.
Kami naik ke atas ke unit saya. Sesampai di unit saya, beliau saya persilakan beliau untuk memakai kamar kecil, sementara saya membuat kopi.
Setelah beliau selesai menggunakan kamar kecil, kami pun duduk sejenak untuk minum kopi di pagi itu.Â
Pak Mulyanto bercerita bahwa ia baru saja mendampingi seorang perempuan warga negara Indonesia (WNI) membuat laporan ke kantor polisi sektor setempat tidak jauh dari flat tempat saya tinggal.Â
Dengan aksen Jawanya yang kental, Bapak itu menceritakan bahwa perempuan WNI itu melapor ke polisi karena mengalami tindak kekerasan yang dilakukan suaminya yang warga di negara tempat kami bermukim itu.
"Jam 3 dini hari Mas Jepe, saya pergi ke kantor polisi karena dihubungi oleh Pak Jerry yang malam ini piket di KBRI," tutur Pak Mulyanto melanjutkan.
Pak Mulyanto dan Pak Jerry, keduanya bukan nama sebenarnya, adalah dua dari sekitar 30 staf lokal yang bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di negara Eropa tempat saya waktu itu sedang belajar.Â
Staf lokal sendiri adalah mereka yang bekerja di KBRI di seluruh dunia yang bukan merupakan pegawai negeri atau ASN dari kementerian luar negeri (Kemlu) dan juga bukan utusan-utusan dari kementerian lainnya. Staf lokal sifatnya adalah pegawai kontrak dua tahunan di KBRI.Â
Kebanyakan dari staf lokal direkrut di negara tempat KBRI berada dan ada sebagian kecil juga yang direkrut oleh Kemlu di Jakarta untuk ditempatkan di KBRI di berbagai penjuru dunia.Â
Mereka yang direkrut di negara setempat pada umumnya adalah WNI yang telah lama menetap di negara di mana KBRI itu berada, misalnya mereka yang menikah dengan warga negara setempat, anak dari keluarga-keluarga WNI yang telah lama bermukim di sana, atau WNI yang memang telah lama merantau di negara tersebut.Â
Pasukan Komando tapi 'Tidak Elit'
Pak Mulyanto dan Pak Jerry sendiri adalah staf lokal yang direkrut dan diberangkatkan dari Jakarta di awal tahun 80-an.Â
Berbeda dengan para diplomat atau ASN dari Kementerian Luar Negeri yang umumnya hanya menguasai bahasa Inggris, seperti staf lokal yang lainnya, Pak Mulyanto dan Pak Jerry sangat menguasai bahasa negara Eropa (non-Inggris) yang bersangkutan dengan fasih dan juga mengerti seluk beluk hukum, peraturan dan budaya masyarakat di negara tersebut.
Maka tidak heran bahwa staf lokal adalah mereka yang pertama kali diterjunkan ke lapangan oleh KBRIÂ untuk mengurus berbagai persoalan darurat yang berhubungan dengan hukum, peraturan maupun dalam kaitan dengan hubungan dengan instansi di negara-negara tempat KBRI berada.
Membantu warga negara Indonesia yang tinggal di negara asing yang mengalami masalah hukum seperti yang dilakukan pak Mulyanto di tengah malam di kantor polisi sektor lokal hanyalah sebagian kecil dari yang dilakukan staf lokal.Â
Masalah WNI yang mengalami kecelakaan atau yang sakit, meninggal mendadak, turis WNI yang mengalami musibah penjambretan maupun pencopetan adalah kegiatan rutin sehari-hari.Â
Penguasaan bahasa lokal maupun pengetahuan akan hukum dan peraturan setempat adalah senjata utama yang sangat diandalkan dari para staf lokal.
Di luar hal-hal yang bersifat insidental, staf lokal KBRI juga adalah ujung tombak dalam berbagai kegiatan dan misi diplomasi KBRI. Pertemuan antara diplomat atau pejabat Indonesia dengan pejabat negara setempat maupun penyelenggaraan suatu acara seperti pameran atau pagelaran budaya tentu memerlukan pesiapan. Mengetahui siapa yang harus dihubungi, mengerti bagaimana protokoler dan prosedur penyelenggaraan acara, menyewa dan mempersiapkan gedung acara, memastikan koordinasi kelancaran acara dengan pemda maupun keamanaan acara dengan pihak kepolisian setempat merupakan tugas para staf lokal KBRI.Â
Ibarat suatu operasi militer, bisa diibaratkan staf lokal adalah pasukan komando yang diterjunkan pertama kali ke medan pertempuran untuk membuka jalan dan mengamankan area sekaligus memastikan segala hal berjalan dengan lancar.
Saat "jalan sudah terbuka" dengan peran staf lokal yang sangat besar, maka yang berikutnya memainkan peranan adalah para diplomat dari Kemlu untuk melakukan misinya. Di saat demikian para staf lokal harus tetap stand-by untuk memastikan acara berlangsung dan berakhir dengan baik.
Selama sekitar 20 tahun tinggal belahan Eropa barat, saya menyaksikan sendiri bahwa pekerjaan staf lokal tidak melulu pekerjaan kerah putih menjadi penghubung dengan pihak negara-negara setempat, tapi terlebih lagi pekerjaan kerah biru alias pekerjaan kasar.Â
Beberapa kali sebagai mahasiswa Indonesia, saya pun sempat terlibat untuk membantu KBRI mengadakan acara-acara. Bersama-sama dengan staf lokal memasang tenda, mengangkat bangku dan meja sampai di tengah malam membongkar panggung dan mencuci piring setelah suatu event berakhir.
Pak Mulyanto yang fungsi sebenarnya adalah staf bidang politik juga sering bercerita bahwa ia pun seringkali harus berperan sebagai teknisi perbaikan berbagai alat di kedutaan, maupun montir saat mobil KBRI mengalami kerusakan.Â
Tidak terhitung lagi pekerjaan kasar angkut-angkut, piket malam, menyupiri staf Menlu di KBRI atau rombongan pejabat dari Jakarta maupun cuci piring dan beres-beres seperti yang saya saksikan sendiri.Â
Pegawai kontrak seumur hidup
Walau sangat dibutuhkan dan berperan sangat besar untuk fungsi diplomasi Republik Indonesia di luar negeri, sejauh ini karir menjadi staf lokal adalah jauh dari sebuah karir yang menjanjikan.Â
Zaman sekarang ini, dengan sistem kontrak dua tahunan yang selalu dapat diperpanjang, seorang lokal staf baru minimal akan mendapatkan gaji sebesar gaji minimum sesuai peraturan yang berlaku di negara di mana ia akan ditempatkan.Â
Dengan gaji tersebut seorang lokal staf harus mampu mencari dan membayar sewa tempat tinggalnya sendiri dan menanggung sendiri biaya transportasinya sehari-hari.Â
Di luar itu staf lokal harus membayar pajak dan berbagai dana pungutan wajib negara setempat, seperti pensiun dan kesehatan karena mereka masuk dalam sistem hukum ketenagakerjaan dari negara asing yang bersangkutan.
Hal ini berbeda dengan staf Menlu yang ditugaskan di KBRI yang di luar gaji juga menerima berbagai tunjangan dari Jakarta, seperti tunjangan rumah, transportasi, maupun tunjangan pendidikan anak.Â
Jika staf Kementrian Luar Negeri yang bekerja di KBRI akan mengalami peningkatan karir secara kepegawaian sebagai ASN, maka karir staf lokal bisa dibilang statis karena tidak ada penjenjangan sama sekali.
Mengingat peran staf lokal yang demikian besar dan berarti, mungkin sudah saatnya bahwa negara memikirkan secara serius bagaimana karir sebagai staf lokal bisa menjadi lebih menjanjikan.Â
Keberhasilan diplomasi RI di luar negeri memang berada di tangan para diplomat dari Kementerian Luar Negeri yang ditugaskan sesuai misinya. Namun peran tangan-tangan tak terlihat dari para staf lokal yang "membuka jalan" dan memastikan segalanya berjalan sesuai rencana, sama sekali tidak bisa diabaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H