Mata Tess (bukan nama sebenarnya) terbelalak dan pucat pasi saat tiba-tiba masuk begitu saja ke bilik kerja saya di Jakarta siang itu, sekitar dua tahun yang lalu.
Gadis expat asal Belanda yang waktu itu baru beberapa bulan bekerja di Jakarta itu langsung  menceritakan bagaimana saat makan siang tadi dia dipaksa mentraktir sekitar 20 orang staff divisi-nya di lantai makan pusat perbelanjaan di sebelah kantor.
Dengan setengah kesal dan hampir sesenggukan ia pun berucap kepada saya dalam bahasa Belanda:
"Yang benar saja Jepe, ini kan hari ulang tahunku. Kok aku yang malah di-bully disuruh mentraktir makan siang 20 orang?"
Uy..uy..uy.... saya tersadar ternyata telah terjadi salah paham budaya.
Bisa dibilang budaya traktir-menraktir memang berasal dari Belanda dan dibawa ke Indonesia pada jaman penjajahan dulu, mengingat secara etimologis kata traktir memang kita serap dari bahasa tersebut.
Menurut kamus gratisan Van Dale, kata kerja "trakteren" berarti berbagi sedap-sedapan, misalnya kue, untuk merayakan sesuatu (iets (lekkers) uitdelen om iets te vieren: op gebak trakteren).
Di Eropa Barat, minimal di Belgia atau di Belanda mereka yang men-trakteer umumnya hanyalah anak-anak di taman kanak-kanak atau sekolah dasar yang berulang tahun. Yang menjadi obyek traktatie hanyalah makanan ringan seperti kue, permen, chips, coklat dan lain-lain.
Untuk orang dewasa, nyaris tidak pernah terjadi bahwa orang yang berulang tahun yang men-trakteer teman-temannya.Â
Yang umum terjadi di negara-negara Eropa Barat adalah teman-teman yang patungan untuk bersama-sama men-trakteer ia yang berulang tahun!