Bagi sebagian kalangan, bumi mendadak gonjang-ganjing dan langit kelap kelap saat pemerintah memasukkan industri minuman keras dalam daftar positif investasi (DPI) sejak tahun ini (Kompas, 24 Februari 2021).
Tumbuh dan besar di salah satu perkampungan yang padat dan cukup 'bronx' Jakarta, saya cukup paham salah satu alasan kuat pemerintah di balik keputusan itu.
Dengan memasukkan miras sebagai salah satu industri dalam DPI, pemerintah jelas ingin menekan konsumsi miras oplosan yang secara langsung memiliki dampak fatal yaitu kematian bagi yang mengonsumsi.
Kata oplosan sendiri adalah kata serapan dari kata kerja dalam bahasa belanda 'te oplossen' yang artinya ada tiga yaitu (i)melarutkan, (ii) mencampurkan berbagai cairan dan (iii) memecahkan masalah.
Minuman keras oplosan sendiri, bisa kita mengerti sebagai minuman keras tak berijin resmi yang dibuat tanpa prosedur yang jelas dan dibuat dengan mencampur berbagai bentuk alkohol yang beracun seperti metanol atau cairan yang jelas bukan untuk dikonsumsi manusia seperti air aki, autan, obat turun panas, sampo, dan lain lain.
Pengoplosan miras itulah yang terjadi misalnya di kampung saya dahulu kala yaitu saat beberapa teman saya mencampur lalu mengonsumsi minuman ringan dengan es batu dan spirtus yang harganya murah. Untung saja waktu itu, tahun 90an, teman-teman saya cepat dilarikan ke rumah sakit dan jiwanya masih terselamatkan.
Kalau ditanya apa alasan teman-teman sata itu mengoplos saya yakin jawabannya ada dua.
Pertama dari sudut pandang mereka sendiri, tentunya akan sesuai dengan definisi ke-3 dari kata 'te oplossen', yaitu mencari solusi atau pemecahan masalah. Masalah apa? Jelas masalah akses yang sulit untuk mendapat miras yang benar (!).
Kedua, dari sudut pandang saya sendiri, mereka mengoplos lalu menonsumsi 'miras homemade' mereka itu karena kurangnya pendidikan tentang konsumsi miras yang bijak.
Data WHO (2020) menunjukan bahwa secara rata-rata antara 2015 dan 2017, per tahunnya Indonesia mengonsumsi 0.8 liter alkohol murni per orang. Angka ini masih di bawah Malaysia, 0,9 liter alkohol murni per orang per tahun, Turki, 2,0, dan jauh lebih kecil dari Uni Emirat Arab, 3,8 atau rata-rata Asia Tenggara yang mencapai 4,5.