"Jangan tersinggung dulu Pak," kata Bu Guru sambil tersenyum manis (halah!).
"Maksud saya bukan bahasa Spanyol Bapak buruk." lanjut Ibu Guru.
Apa yang kemudian sang Bu Guru katakan membuat saya terhenyak.
"Lebih baik Bapak tetap berbicara dengan anak Bapak dalam bahasa Indonesia yang adalah bahasa ibunya. Biarkan anak Bapak belajar berbahasa Spanyol dengan kami guru-gurunya dan dengan teman-temannya, karena bahasa Spanyol adalah bahasa ibu kami. Biarkan anak Bapak belajar bahasa pada masing-masing penutur bahasa ibunya agar bahasa-bahasa yang nantinya dikuasai anak bapak adalah bahasa yang baik dan benar."
Saya baru menyadari betapa baiknya filosofi pengajaran bahasa yang dianut Ibu Guru maupun sistem pendidikan di sekolah itu.
Memang selain anak kami yang dari Indonesia, masih ada beberapa anak lain di kelas itu yang berasal dari Cina dan Maroko.
Sungguh mengherankan bahwa pihak sekolah justru menyarankan agar kami tetap berkomunikasi dengan anak kami dalam bahasa ibu masing-masing dan membiarkan anak belajar bahasa Spanyol dari sumber-sumbernya yaitu guru-guru dan teman-temannya yang adalah penutur asli.
Kami menerapkan hal itu dengan sepenuhnya: berbahasa Indonesia dengan anak kami sepanjang waktu, sementara anak kami di luar rumah berinteraksi dengan guru-guru dan teman-temannya dalam bahasa Spanyol.
Walhasil, dia menjadi fasih dalam bahasa Indonesia dan bahasa Spanyol, bahkan masing-masing dengan aksen dan logatnya.
Saat berbahasa Indonesia dia memiliki logat jawa dan saat berbahasa Spanyol dia memiliki aksen dan logat andaluz yang kental!Â
Ketika pulang ke Indonesia beberapa tahun kemudian, kami justru terheran-heran: mengapa banyak orangtua di kota-kota besar justru sangat aktif berbahasa Inggris dengan anaknya selama 1 x 24 jam x 7hari? Mengapa tidak merelakan anak-anaknya untuk cukup berbahasa Inggris dengan guru-gurunya yang memang sudah terlatih untuk itu?