Patut disyukuri terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) yang dikeluarga Mendikbud Nadiem Makarim, Mendagri Tito Karnavian dan Menag Yaqut Cholil Qoumas. Secara singkat SKB yang terbit tanggal 2 Februari 2021 ini memutuskan tiga hal:
Pertama bahwa peserta didik di sekolah pemerintah (negeri) berhak memilih menggunakan pakaian seragam dan atribut tanpa maupun dengan atribut keagamaan tertenu. Kedua bahwa PEMDA dan sekolah memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk memilih menggunakan seragam seperti dimaksud dalam dictum pertama. Ketiga, PEMDA dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyarakatkan, mengimbau atau melarang penggunaan seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu.
Dengan surat ini, secara otomatis pemerintah (daerah) dan sekolah negeri tidak bisa lagi misalnya mewajibkan ataupun menghimbau siswi muslim maupun non-muslim untuk mengenakan jilbab seperti yang terjadi di Padang sejak 2005.
Selain sesuai dengan berbagai aturan perundang-undangan maupun peraturan presiden dan pemerintah yang disebutkan sebagai dasar dalam SKB tersebut, keputusan tiga orang Menteri ini juga mengembalikan peran negara dan pemerintah ke dua kodratnya.
Kodrat pertama adalah bahwa negara dan pemerintah sesungguhnya tidak bisa mengatur bagaimana warga negara menjalankan kewajiban agamanya.
Hal ini bukanlah sesuatu yang baru. Perumusan sila pertama Pancasila dari yang diusulkan dalam Piagam Jakarta yang berbunyi "Ketuhanan Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" yang akhirnya berubah menjadi  "Ketuhanan Yang Maha Esa" yang kini kita kenal adalah dasar dari kodrat ini.
Di sini menjadi jelas bahwa pemerintah tidak bisa mewajibkan siswi muslim di sekolah negeri untuk berjilbab, tidak bisa mengharuskan umat muslim untuk berpuasa di bulan Ramadhan maupun mengharuskan umat Kristen dan Katolik untuk pergi beribadat di gereja di hari minggu.
Kodrat kedua adalah sesuai dengan pasal 29 ayat 2 UUD 45: bahwa negara lewat pemerintah harus menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Hal ini dikuatkan dengan pasal 28e dan 28i pada perubahan kedua UUD45 tahun 2006 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya (pasal 28e dan hak itu tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. (pasal 28i).
Pasal-pasal UUD secara  jelas letterlijk memerlihatkan bagaimana hak beragama dan berkepercayaan serta hak untuk menjalankannya adalah hak setiap orang yang bersifat individual yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan atau situasi apa pun.
Pendirian tempat ibadah, misalnya, adalah hak individu dan tidak ditentukan sebagai masalah minoritas atau mayoritas. Umat Islam di NTT selayaknya mudah mendirikan mushola atau masjid sedikit apapun jumlah umat itu di suatu wilayah di NTT. Â Sebaliknya umat Kristen aliran tertentu misalnya, se-minoritas apapun jumlah mereka tetap berhak mendirikan tempat beribadat di Sumatera Barat misalnya.
Adalah tugas negara untuk mengawal hak tersebut terpenuhi, tanpa kewajiban untuk mendapat persetujuan 60 masyarakat sekitar apalagi rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Akankah SKB 3 Menteri yang menjamin kebebasan berseragam akan diikuti dengan penghapusan SKB 2 Menteri tentang pembangunan rumah ibadat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H