“Itulah sebabnya dia (Zeus) memberikan ‘harapan’ bagi manusia. ‘Harapan’ pada dasarnya adalah hal terburuk dari segala hal yang jahat karena ‘harapan’ memperpanjang penderitaan manusia” (Nietzsche, 1879, Menschliches, Allzumenschliches)
Bagi kebanyakan orang hidup adalah masalah pasang surut. Pasang surut niat, pasang surut kesempatan, pasang surut usaha, pasang surut pencapaian, pasang surut hasil. Itulah realitas atau kenyataan yang senyata-nyatanya.
Bagi kebanyakan orang pula, realitas hidup yang berpasang surut ini adalah hal yang sangat melelahkan, menjengkelkan atau dalam bahasa latin disebut njelehi. Sebagai konsekuensi, adalah hal yang sangat normal bahwa kebanyakan orang juga akan mencari istirahat dari kelelahan tersebut lewat pendambaan pada satu situasi di mana hidup berada pada posisi “pasang” terus menerus. Artinya kebanyakan orang mendambakan atau memimpikan hidup yang secara konstan diisi dengan semangat yang kuat, usaha yang luar biasa, kesempatan yang selalu luas, hasil setinggi langit, kemenangan yang terus menerus atau yang dirumuskan dengan satu kata: keberhasilan atau kemenangan.
Dalam dunia olah raga, khususnya sepakbola, pendambaan ini termanifestasi secara jelas dalam pengidolaan tim-tim pelanggan gelar juara atau minimum tim-tim yang berkutat di papan atas di liga negaranya. Kita bisa mengerti misalnya mengapa begitu banyak orang yang mengidolakan Juventus Football Club dari Turino (kompasianer S.Aji), Bayern Munich (kompasianer Elde), Manchester United (kompasianer Priadarsini), Barcelona CF (Geutrida Malthida) dan lain-lain. Lewat prestasi dan kemenangan demi kemenangan, tim-tim papan atas seperti inilah yang mampu memberikan kebahagiaan begitu besar bagi mereka yang mendukungnya, bagi mereka yang memimpikan bahwa hidup adalah selalu di atas, selalu pada situasi “pasang”.
Begitu sederhanakah pola impian atau harapan manusia akan kehidupan?
Tidak juga. Di luar kebanyakan orang yang memimpikan yang ideal, keberhasilan yang konstan, kemenangan demi kemenangan, ada juga mereka yang cukup bahagia dengan memimpikan apa yang nyata alias realitas. Mereka yang berharap pada kehidupan yang isinya memang tidak melulu keberhasilan dan kemenangan tapi juga kegagalan dan kekalahan.
Di dunia sepak bola, pola berharap pada realitas seperti ini paling tegas dan jelas bisa ditemukan pada mereka yang mengidolakan tim Real Betis asal Sevilla.
Para pendukung tim ini memiliki filosofi manquepierda yang menjelaskan harapan atau impian mereka atas Real Betis. Kata ‘manquepierda’ berasal dari suatu dialek kuno di Andalusia (Spanyol selatan) yang kini sudah lenyap dari dua frasa ‘mas que’+’aunque’ yang berarti ‘meskipun’ dan ‘pierda’ yang berarti ‘kalah’.
Dengan demikian filosofi manquepierda atau “meskipun kalah” berarti semangat untuk mendukung tim (Real Betis) terlepas dari hasil pertandingannya: kalahpun kami tetap mendukung. Filosofi negatif yang muncul pertama kali di tahun 1950 di saat Real Betis betul-betul berada di ambang kehancuran ini, seakan sangat melekat menjadi suatu ciri khas yang mengiringi hasil dan prestasi tim berkostum hijau putih (verdiblanco) ini.
Ciri khas pertama adalah kemampuan Betis untuk tampil luar biasa cantik dan gigih di saat menghadapi tim-tim papan atas dan bermain ceroboh dan buruk luar biasa saat menghadapi tim-tim sekelas. Tentu belum lepas ingatan para pendukung Barcelona saat beberapa minggu yang lalu, los Cules dipaksa bermain imbang bahkan nyaris tumbang di stadion Benito Villamarin. Eforia bermain cantik melawan Barça hanya bertahan sebentar saat berselang satu pekan kemudian Real Betis bermain luar biasa buruk dan kalah luluh lantak secara mengenaskan 1-4 di tangan Granada, tim yang terancam degradasi.
Hal inilah yang juga membuat Real Betis disebut tim Robin Hood: meraih angka dengan susah payah saat melawan tim-tim atas, dan buang-buang angka lewat main buruk dan kalah saat melawan tim-tim bawah.
Adalah satu hal menarik yang terjadi di akhir pertandingan melawan Granada (1-4). Begitu peluit akhir pertandingan berbunyi, pelatih Betis, Víctor Sánchez del Amo ‘menghukum’ para pemainnya dengan mengharuskan mereka untuk tinggal sekitar 5 menit di lapangan untuk mendengarkan caci maki para pendukung Betis. Setelah puas mencaci maki para pemain selama 5 menit, para pendukung Betis secara tiba-tiba malah menyanyikan lagu-lagu dan yel-yel dukungan Real Betis yang membuat para pendukung Granada yang masih tinggal di stadion memberikan aplaus panjang.
Yang jelas menjadi pendukung Real Betis berarti menjadi pendamba kenyataan. Dalam mendamba kenyataan kemenangan atau keberhasilan tidaklah dinilai dari skor pertandingan. Kemenangan atau keberhasilan dilihat dari usaha dan kegigihan di lapangan, kemampuan untuk bangkit dari kekalahan, keluar dari zona degradasi, keberhasilan menyamakan kedudukan.
Skor pertandingan hanyalah bonus kegigihan.
Seperti malam ini: Betis sempat tertinggal 0-1 dari Malaga gara-gara blunder back Tosca di babak pertama. Jonas berhasil menyamakan kedudukan jadi 1-1 lalu Sanabria membalik keadaan sehingga Betis menang 2-1 lawan Malaga.
Kemenangan di saat pesimisme meraja setelah kekalahan derbi beberapa hari yang lalu. Kemenangan di saat tidak diduga sebagaimana kadang-kadang geliat usaha terakhir kita dalam hidup beraroma putus asa justru membuahkan hasil.
Viva el Betis manque pierda!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H