Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konsep Ras Ternyata Hanya Khayalan Orang Dewasa

10 Januari 2012   12:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:04 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Perbedaan ini ternyata hanya tipuan mata! (sumber foto: wikimedia)"][/caption] Waktu saya masih duduk di bangku kelas dua SD di Jakarta, guru saya pernah memberi pekerjaan rumah (PR). "Anak-anak nanti malam tolong tanyakan ke orang-tua masing-masing apa suku kalian. Besok ibu akan mencatat suku-suku kalian tersebut", begitu kira-kira kata Ibu Guru kami memberi PR. Esok harinya, Ibu Guru mengabsen kami satu persatu sambil menanyakan suku masing-masing: "Joko?" kata Bu Guru.. "suku jawa Bu!" jawab saya. "Bernard..?"    "suku tapanuli Bu!" jawab kambrat sebangku saya yang jago main kasti dan basket. "Ahmad[1]...?"   "suku sunda Bu!" kata teman saya yang jago gundhu dan gatrik. "Milka...?"  "suku irian Bu!" kata teman cewek saya yang badannya jangkung dan rambutnya kriting. "Deo...?"  "suku flores Bu!" kata teman saya Deodatus yang dikantung celananya pasti punya seraup biji karet aduan. "Steven...?" "suku tionghoa Bu" kata Steven yang jago pingpong dan hobby nonton video silat berseri. Begitu seterusnya sampai buku catetan Ibu Guru kami sudah lengkap dengan data suku ke-47 murid-murid kelas 2A. Itu pengalaman saya dulu waktu SD di Jakarta: orang tua memberi tahu kepada anak, apa suku mereka lalu sang anak jadi tahu, "ooh saya itu sukunya anu". *** Pengalaman anak saya yang pertama yang duduk di bangku SD di negara tempat kami tinggal sekarang (Belgia) lain lagi. Suatu sore saya menjemput anak saya yang waktu itu masih kelas 1 SD di sekolahnya. Keluar pintu kelas dia terlihat ngobrol seru banget dengan seorang kawannya yang dari fisiknya kelihatan seperti orang Cina. Di perjalanan naik sepeda sepulang dari sekolah, saya iseng-iseng tanya ke anak saya, "tadi temanmu yang Cina itu namanya siapa?" "Cina itu apaan sih Pak", dia malah nanya balik. " Cinaa itu.. yang matanya sipit" kata saya. "mata sipit itu kayak apa?" tanya dia lagi. Tadinya kupikir ini masalah bahasa. Jadinya kuterangkan mata sipit itu seperti apa. Setelah diterangkan dan sepertinya mengerti dia malah bilang, "ya deh Pak, kalau begitu, besok aku lihat deh di sekolah ada yang matanya sipit apa nggak." gubraak... *** Lain hari, kejadiannya lebih heboh lagi. Pas saya jemput dia lagi asyik main beyblade dengan seorang anak berkulit hitam berambut kriting yang saya taksir keturunan Afrika. Di perjalanan pulang, saya tanya ke anak saya, "tadi temanmu yang hitam namanya siapa ya?" "yang hitam yang mana Pak?" dia balik nanya. "yang tadi yang main beyblade sama kamu..." kata saya. "oooh itu si Alain.." jawabnya. "oh itu yang namanya Alain" kata saya. Memang anak saya sudah sering cerita tentang si Alain. Kami terdiam sebentar sambil terus naik sepeda. Eh tiba-tiba anak saya bertanya, "Lho emangnya si Alain itu hitam?" "Ya iya khan, si Alain kulitnya hitam" kata saya. "Ooh gitu ya.." kata anak saya. Selanjutnya dia tidak ngomong apa-apa lagi dan kami meneruskan bersepeda sampai rumah. Tapi dari raut wajah anak saya terlihat jelas bahwa ada sesuatu yang sedang berkecamuk di pikirannya. *** Malam harinya saya baru sadar, baru ngeh, apa benar ya anak-anak itu nggak melihat perbedaan fisik apa-apa di antara teman-temannya. Anak saya yang kelas 1 SD yang  saya haqul yakini tidak menderita (maaf) buta warna ternyata tidak melihat perbedaan warna kulit sama seperti dia tidak bisa membedakan mata belok dan mata sipit. Anak saya yang kedua, pernah beberapa kali dipanggil chinees (yang artinya Cina) oleh seorang temannya yang lebih tua dan dia nggak ngerti apa maksudnya dia dipanggil seperti itu. Seiring dengan waktu, akhirnya mereka belajar (dari sekolah) bahwa manusia itu terdiri dari berbagai-bagai ras. Mereka juga baru belakangan tahu bahwa mereka bukan dari ras yang sama dengan teman-teman mereka yang mayoritas bule. Sekarang saya sering membayangkan bagaimana indahnya dunia, jika pengertian anak-anak tetang manusia dan sesamanya tidak pernah ditervensi oleh orang tua seperti saya, anda dan sekolah dengan konsep-konsep perbedaan kita yang rumit seperti ras. Belum lagi nanti ada konsep-konsep 'pembeda' lainnya seperti agama, ideologi, orientasi seksual,... duh biyung... gimana caranya menjaga dunia indah mereka tetap indah? Catatan kaki 1 Si Ahmad teman sekelas ini bukan Pak'e Ahmad Jayakardi :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun