Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Isu Kesetaraan: Quo Vadis?

4 Juni 2014   23:04 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:20 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="551" caption="Simon Kuznet yang hipotesanya diragukan(www.foreignaffairs.com)"][/caption] Dalam pidatonya di hadapan Asosiasi Ekonomi Amerika di tahun 1955, ekonom Simon Kuznets mengajukan hipotesanya bahwa kesenjangan pendapatan atau ekonomi di mana pun akan berbentuk lonceng atau kurva U-terbalik relatif terhadap pembangunan ekonomi. Pada fase awal pembangunan ekonomi, yaitu pada masa awal industrialisasi akan terjadi peningkatan kesenjangan ekonomi atau gerakan naik dari kurva kesenjangan. Pada fase ini Kuznet membayangkan adanya proses urbanisasi, berpindahnya para petani meninggalkan pedesaaan untuk bekerja dan hidup di kota menjadi buruh.  Kesenjangan ekonomi meningkat dengan terciptanya konsentrasi kekayaan di daerah urban dan pemilik modal baik infrastruktur seperti pabrik maupun maupun sumber daya alam. Kenaikan kurva ini akan berakhir pada suatu fase kedua di mana negara mencapai tingkat kemakmuran tertentu  dan proses industrialisasi memungkinkan terjadinya trickle-down di mana keuntungan yang dicapai oleh para pemilik modal akan juga dirasakan oleh seluruh lapisan ekonomi di masyarakat termasuk yang terendah. Dengan kata lain di fase kedua ini kesenjangan ekonomi mengalami penurunan seiring dengan kemajuan ekonomi negara tersebut. Selama dekade 80-an, ekonom seperti Jeffrey Williamson dan Peter Lindert telah mempelajari pergerakan kenaikan kesenjangan pada abad ke 19 yang diikuti oleh penurunan yang pada paruh kedua abad 20 di Amerika Serikat dan Inggris. Hasil-hasil penelitian terbaru di awal abad 20 dilakukan oleh ekonom Perancis Thomas Piketty terhadap Perancis dan Amerika Serikat. Salah satu kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa proses penurunan kesenjangan yang terjadi sepanjang abad 20 tidaklah se-alamiah atau se-otomatis seperti proses revolusi industri maupun urbanisasi yang dibayangkan Kuznet terjadi pada fase kedua kemajuan ekonomi negara-negara tersebut. Faktor-faktor non-alamiah terutama kebijakan-kebijakan yang terkait dengan redistribusi maupun transfer kekayaan ekonomi sepert sistema pajak yang progresif sangat berperan dalam menurunkan kesenjangan ekonomi.  Dengan kata lain proses alamiah atau trickle down, turunnya kesenjangan bersamaan dengan kemajuan atau pertumbuhan ekonomi atau industrialisasi hanyalah ilusi Kuznet. Goldman Sachs Investment Bank  menempatkan posisi Indonesia yang pada tahun 2011 bersama Turki, Meksiko dan Korea Selatan sebagai empat  negara dengan pertumbuhan tercepat di antara grup negara-negara Next Eleven (N-11) yaitu sebelas negara di dunia dengan masa depan ekonomi yang paling menjanjikan dari segi investasi dan pertumbuhan. Di satu sisi tidak berlebihan kiranya jika kita menempatkan Indonesia pada posisi awal fase kedua pertumbuhan ekonomi dalam konteks Kuznet.  Namun di sisi lain, adalah suatu bahaya jika kita mengharapkan bahwa proses pertumbuhan ekonomi yang cepat akan dengan sendirinya menurunkan kesenjangan ekonomi di Indonesia. Kesenjangan yang meningkat bersamaan dengan pertumbuhan ekononomi Dalam salah satu laporan terakhirnya tentang Indonesia di tahun 2013 yang berjudul Trends in Poverty and Inequality in Decentralising Indonesia, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi  yang disingkat OECD, menyimpulkan tiga hal tentang kemiskinan dan kesenjangan ekonomi di Indonesia sepanjang kurun waktu 2002-2010. Pertama, kemajuan ekonomi sebesar 5.3% per tahun. Kedua, kenaikan dalam kesenjangan konsumsi per kapita di Indonesia dalam kurun waktu yang sama. Indeks Gini dari indikator konsumsi ini menunjukan kenaikan dari 0.329 di tahun 2002 ke 0.380 di tahun 2010. Ketiga, penurunan angka kemiskinan sebesar 6% sampai 11% sepanjang periode tersebut. Seakan mempertegas runtuhnya kurva Kuznet, dua kesimpulan pertama laporan OECD ini jelas memperlihatkan bagaimana kesenjangan ekonomi bisa mengalami peningkatan di saat ekonomi negara juga naik secara pesat. Yang paling menarik dari laporan OECD ini adalah kaitan antara ketiga indikator di atas. Laporan ini menyimpulkan bahwa peran pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang periode 2002-2010 dalam menurunkan angka kemiskinan menjadi tidak banyak berarti saat kesenjangan ekonomi juga meningkat selama kurun waktu yang sama. Penurunan angka kemiskinan pada masa sebelum krisis (1991-1996) terjadi jauh lebih cepat dan hal ini terkait erat dengan  lebih lambatnya laju kenaikan kesenjangan pada masa sebelum krisis tersebut dibandingkan saat ini. Absennya elemen transfer dan redistribusi dari misi dan visi para capres Dalam Aksi Transformasi Bangsa-nya, capres Prabowo memasukkan target penurunan kesenjangan ekonomi lewat penurunan indeks Gini sebesar 10 points. Pembangunan sektorial maupun kategori sosio-profesional tertentu nampaknya menjadi sasaran capres Partai Gerindra ini untuk mencapai kesetaraan ekonomi, khusunya sector koperasi, UMKM, industri kecil-menengah dan  kategori petani, peternak, nelayan buruh, pegawai, industri kecil-menengah,  dan pedagang kecil-tradisional. Di sisi lain, capres asal PDI-P Jokowi nampaknya melihat ketimpangan spasial sebagai isu utama kesenjangan ekonomi. Duet ini merencanakan untuk membangun Indonesia dari pinggiran, yaitu dengan memperkuat daerah-daerah dan desa . Memfokuskan pembangunan pada sektor, kategori sosio-profesional maupun daerah tertentu adalah kesamaan dalam strategi anti-kesenjangan dari dua Capres ini. Kecenderungan kuat untuk tetap menempatkan 'pembangunan' entah itu sektorial, spasial maupun kategorial sebagai senjata utama memerangi kesenjangan dan absennya komponen sistem redistribusi maupun transfer pendapatan dari visi misi capres memperlihatkan bagaimana kedua capres masih mengharapkan adanya terjadinya trickle down seperti yang dibayangkan oleh Kuznet. Belum saat ini? Kecil kemungkinan bahwa akan terjadi revisi besar berkait dengan isu kesetaraan dalam visi misi capres dalam masa kampanye  sebentar lagi. Visi dan misi bertemakan redistribusi maupun transfer pedapatan yang seharusnya muncul akan memberikan panduan bagaimana kebijakan-kebijakan anti kesenjangan akan dibuat selama masa pemerintahan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada pemberantasan kemiskinan dalam jangka panjang. Visi dan misi dengan tema ini seyogyanya akan mampu menjelaskan masa depan berbagai program seperti program keluarga harapan (PKH), bantuan operasi sekolah (BOS), beras untuk rakyat miskin (Raskin) ataupun jaminan kesehatan masyarakat (jamkesnas), termasuk dari mana sumber pendanaan akan diperoleh. Visi dan misi ini juga akan mampu menjelaskan apakah kita akan meneruskan program desentralisasi yang sejak 2001 telah dijalankan pemerintah RI dan ironisnya menjadi salah satu biang keladi kesenjangan ekonomi sebagaimana disoroti oleh laporan OECD. Mudah-mudahan isu-isu tersebut akan diangkat para capres kita walau sayangnya kemungkinan besar hal itu nampaknya belum akan terjadi pada Pilpres kali ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun