Sejak pertengahan November 2010 perhatian para pengamat dan ahli ekonomi dunia tertuju pada laporan yang diterbitkan oleh Bank Standard Chartered di Inggris yang berjudul The Super-cycle Report. Pada intinya laporan ini menyatakan bahwa sejak tahun 2000 perekonomian dunia sedang berada pada fase pertumbuhan tinggi yang masih akan terus berlangsung sampai dengan beberapa dekade yang akan datang. Periode pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama beberapa dekade inilah yang disebut sebagai super-cycle. [caption id="attachment_214382" align="aligncenter" width="656" caption="Super-cycles - Pertumbuhan GDP Dunia (Sumber: Standard Chartered, 2010, The Super-cycle Report, halaman 1)"][/caption] Menurut laporan ini, super-cycle yang terjadi saat ini merupakan super-cycle yang ketiga. Seperti bisa dilihat pada grafik di atas, super-cycle pertama dimulai tahun 1870 dan berakhir pada tahun 1913 , dan super-cycle yang kedua terjadi segera setelah berakhirnya Perang Dunia II dan berakhir pada tahun 1973, bersamaan dengan krisis bahan bakar minyak yang melanda dunia saat itu. Menurut laporan Standard Chartered, sejak tahun 2000 kita sudah berada pada Super-cycle yang ketiga dengan rata-rata pertumbuhan GDP dunia sebesar 3,5% per tahun yang akan berlangsung paling tidak sampai tahun 2030. Dalam masa super-cycle ketiga ini, seluruh dunia, baik negara-negara barat maupun negara-negara berkembang akan mengalami pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang saat ini disebut sebagai negara-negara berkembang, akan jauh lebih sigfinikan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi negara-negara barat (maju). Kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2030 akan berada di negara-negara yang saat ini disebut sebagai negara berkembang.
[caption id="attachment_214383" align="aligncenter" width="689" caption="Grafik kiri: Distribusi (%) GDP dunia 2010. Total: 62 trilyun USD - Grafik kanan: Distribusi (%) GDP dunia 2030. Total: 308 trilyun USD. Sumber: Standard Chartered, 2010, The Super-cycle Report. Hal 5)"]
[/caption] Pada grafik di atas dapat dilihat bagaimana 27 negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang menguasai 60% GDP dunia pada tahun 2010. Pada tahun 2030, persentase ini diperkirakan hanya akan sebesar 29%. Sebaliknya persentase GDP Cina, India, dan negara-negara Asia akan meningkat pesat dari 17% di tahun 2010 ini menjadi 42% di tahun 2030.
Di mana posisi Indonesia di tahun 2030? Indonesia, sebagaimana disebutkan di halaman 23 laporan tersebut, diperkirakan akan menjadi bintang perekonomian Asia:
dari di peringkat ke-28 di tahun 2000, Indonesia akan menyodok ke peringkat ke-10 di tahun 2020 dan peringkat ke-5 kekuatan ekonomi dunia di tahun 2030! Dengan GDP sebesar 9,3 trilyun USD pada tahun 2030 (
tahun 2010: 1,1 trilyun USD), Indonesia akan menguasai 3% dari GDP dunia tahun tersebut (tahun 2010:1,7%) .
[caption id="attachment_214384" align="aligncenter" width="666" caption="10 Besar Ekonomi Dunia per Dekade (Sumber: Standard Chartered, 2010, The Super-cycle Report)"]
[/caption]
Pada tabel di atas dapat dilihat bagaimana Cina diperkirakan akan menguasai perekonomian dunia sejak tahun 2020 menggeser Amerika Serikat. Pada tahun 2030, India dan Brasil akan berada pada posisi ketiga dan keempat di atas Indonesia. Posisi Indonesia berada di atas Jepang (peringkat 6) dan negara-negara Eropa (Jerman, Prancis, Inggris). Ramalan Standard Chartered ini tentu saja mendapat sambutan positif dari banyak pelaku, pengamat, ahli ekonomi, pemerintah dan kita rakyat Indonesia ditandai dengan dilansirnya hasil penelitian Standard Chartered oleh berbagai media massa di tanah air dan juga oleh sumber-sumber resmi pemerintahan RI. Namun demikian, di tengah euforia ini, tidaklah berlebihan jika kita mengritisi sedikit skenario super-cycle ini dengan pertanyaan: Seberapa jauh skenario super-cycle ini dapat menjadi kenyataan? Standard Chartered mampu membuat prediksi kondisi perekonomian dunia berdasarkan atas tool berupa model ekonomi dunia yang dimilikinya. Variabel-variable dalam model dibuat atas dasar teori-teori ekonomi dan model dapat memberikan prediksi ke masa depan berdasarkan atas data historis yang dimilikinya serta asumsi-asumsi tentang apa yang akan terjadi di sektor lainnya. Satu asumsi penting yang patut dikaji adalah asumsi dalam bidang energi. Sampai kapan dunia punya minyak? Asumsi yang dipakai oleh laporan Standard Chartered dalam bidang energi, khususnya tentang ketersediaan minyak bumi didasarkan pada prediksi yang dibuat oleh Badan Energi International (International Energy Agency) atau IEA. Setiap tahun, IEA yang bermarkas di Paris ini menerbitkan laporan yang berjudul World Energy Outlook atau WEO. Laporan yang memuat data statistik dan prediksi jangka panjang tentang situasi pasar energi dunia berikut analisanya ini dipakai oleh banyak negara maupun pelaku bisnis energi di dunia sebagai acuan resmi dalam pembuatan kebijakan yang terkait dengan energi. [caption id="attachment_214385" align="aligncenter" width="684" caption="Superposisi Beberapa Prediksi Produksi Minyak Dunia (Sumber: EWG, 2008, Crude Oil the Supply Outlook hal 12, IEA, 2009, World Energy Outlook 2009)"]
[/caption]
WEO edisi 2009 merupakan acuan yang dipakai oleh Standard Chartered sebagai asumsi situasi energi dunia sampai dengan tahun 2030. Salah satu indikator terpenting situasi energi dunia dapat direpresentasikan oleh besarnya produksi minyak bumi dunia. WEO 2009 memprediksikan bahwa
pada tahun 2030 seluruh produsen minyak dunia akan mampu memproduksi 103 juta barrel minyak bumi per hari. (Sebagai informasi, produksi minyak dunia tahun 2008 adalah 83 juta barrel minyak per hari). Pada dua edisi sebelumnya,
WEO edisi 2006 dan
WEO edisi 2007, badan yang sama (IEA) memprediksikan bahwa pada tahun 2030 dunia akan memproduksi
116 juta barel minyak bumi per hari. Revisi yang terjadi pada prediksi produksi minyak dunia antara dua edisi WEO, 2006-2007 dan 2009, sebesar 13 juta barel minyak bumi per hari (penurunan sebesar 11%!) merupakan pertanda bahwa
prediksi tentang ketersediaan minyak bumi dunia merupakan prediksi yang labil. Banyak studi tentang prediksi produksi minyak dunia yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian dunia lainnya. Salah satu hasil studi yang cukup menggemparkan dihasilkan oleh
Energy Watch Group atau EWG sebuah lembaga penelitian tentang enerji independen yang berkedudukan di Berlin, Jerman. Pada tahun 2008, lembaga ini menerbitkan laporan yang berjudul
Crude Oil - The Supply Outlook. EWG, dalam laporan tersebut memprediksikan bahwa
produksi minyak dunia pada tahun 2030 hanya akan sebesar 40 juta barrel per hari atau hanya sekitar 40% dari angka yang diprediksi oleh IEA dalam WEO 2009 (yang kemudian dipakai dalam laporan Standard Chartered)! Dari grafik di bawah dapat dilihat adanya
gap yang begitu besar dalam prediksi yang dikeluarkan oleh dua lembaga yang berbeda: prediksi EWG (kurva-kurva berwarna) versus WEO (2006 - garis merah, 2009 - garis biru).
Konsekuensinya? Gap di atas memperlihat ketidakpastian yang besar dalam prediksi ketersediaan minyak dunia. Satu hal yang pasti, seperti yang diperlihatkan di atas, adalah bahwa prediksi IEA terus menerus direvisi ke nilai yang lebih rendah yang berarti bahwa semakin hari para peneliti energi dunia semakin sepakat bahwa ketersediaan minyak dunia selalu lebih sedikit dari yang kita bayangkan. Satu ilustrasi lagi: EWG pada laporan yang diterbitkan pada tahun 2008 di atas telah menyatakan bahwa puncak produksi minyak dunia (
peak oil) telah terjadi pada tahun 2006 yang lalu. Perlu waktu 3 tahun bagi IEA untuk secara resmi mengamini hal tersebut seperti yang disebutkan pada WEO edisi 2010. Ketidakpastian ketersediaan minyak bumi ini secara langsung berdampak pada kesahihan skenario super-cycle yang diajukan Standard Chartered. Sebagian besar aktivitas perekonomian dunia masih digerakan dengan cara "membakar minyak bumi". Kemungkinan anjloknya produksi minyak bumi di masa mendatang jelas merupakan salah satu bahaya laten yang mengancam ekonomi dunia secara serius.
Skenario super-cycle bukanlah skenario business as usual... Akhirnya adalah suatu tindakan yang tidak berlebihan jika kita mengurangi
iman kepercayaan kita kepada skenario super-cycle dari Standard Chartered. Skenario super-cycle bukanlah skenario yang realistis yang akan terjadi jika keadaan "hari ini" dapat dipertahankan (
businees as usual). Tinjauan dari sisi ketersediaan minyak saja sudah cukup untuk memperlihatkan derajat ketidakpastian yang begitu besar dari skenario ini. Dari sisi energi, skenario super-cycle dapat dianggap sebagai suatu
skenario optimis ketimbang skenario realistis. Skenario yang ditawarkan oleh Energy Watch Group (EWG), di mana produksi minyak akan anjlok dalam 20 tahun mendatang boleh dianggap sebagai
skenario pesimis. Skenario realistis, dari segi energi, selayaknya mengambil suatu kurva evolusi produksi minyak bumi yang terletak di antara kedua skenario tersebut.
Di mana posisi Indonesia jika skenario optimis à la Standard Chartered tidak terjadi? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan mudah. Paling tidak dari segi energi, hal ini akan tergantung dari kemandirian Indonesia. Ini adalah tantangan yang cukup berat mengingat
energy mix perekonomian Indonesia masih sangat bertumpu pada minyak bumi. Kemandirian dalam sektor energi harus direncanakan secara matang dalam strategi pemerintahan baik dalam eksplorasi akan penggunaan bahan bakar lainnya, termasuk bahan bakar terbarukan dan maupun dalam pengembangan teknologi yang bersifat energi efisien.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Money Selengkapnya