Setengah abad sudah Peristiwa Bersejarah tersebut terjadi. Peristiwa yang menandai hilangnya kekuasaan Pemerintahan Presiden Soekarno tersebut – menjadi tonggak lahirnya kekuasaan Orde Baru. Mandat yang bertujuan untuk menjaga keamanan Presiden dan memulihkan keadaan tersebut dijadikan momentum Peralihan Kekuasaan yang langsung dipergunakan Letjen Soeharto sebagai penerima mandat untuk mengubah keadaan; PKI dan Tjakrabirawa Dibubarkan, Anggota Parlemen dan Kabinet yang mendukung Presiden Soekarno ditangkap, bahkan Wikana (Pemuda Angkatan’45 yang menjabat sebagai Menpora) juga turut hilang. Peralihan kekuasan tersebut disambut riang oleh Pemuda dan Mahasiswa Angkatan 66 di Indonesia. Namun sebaliknya, mereka yang dikirim untuk studi ke luar negeri harus meratapi nasibnya di masa depan.
Kesewenang-wenangan Demokrasi Terpimpin telah runtuh. Harapan baru muncul pada rezim Baru – yang bertahan selama 32 Tahun – namun juga dengan kesewenang-wenangan. Bung Hatta tepat terhadap pendapatnya tentang Imperialisme dari dalam diri bangsa sendiri. Beliau mundur dari kursi kekuasaan; beliau pula yang paling pagi memperingatkan perihal bahaya kesewenangan – sejak Demokrasi Terpimpin berdiri, hingga Invasi pertama ke Timor-Timur yang dilakukan Orde Baru. Namun apa yang diperjuangkannya, tak sepadan dengan apa yang didapat; hidupnya melarat hingga akhir hayat.
Polemik Supersemar, yang mempermasalahkan otentisitas surat perintah tersebut – yang tercakup ke dalam proses tapak tilas sejarah – menjadi hal yang bagi saya, jauh lebih penting jika kita mempelajari apa yang sudah dilalui oleh Bangsa Kita – selama setengah abad ini. Masih banyak hal yang jauh dari harapan sejak dari Orde Baru berdiri hingga reformasi – di segala bidang – yang belum terpenuhi. Pascareformasi, masyarakat mulai bergerak melakukan perubahan. Masyarakat mulai berani membaca, menulis, membuka diskusi, hingga menuntut Peradilan terhadap kesewenangan Orde Baru. Segala pintu hal yang dianggap tabu mulai didobrak satu persatu. Pembahasan otentisitas sejarah tentu perlu, bahkan harus. Tetapi mempermasalahkan hal yang masih berwujud teori konspiratif yang masih jauh dari fakta, hanya akan membuang waktu dan menjauhkan perubahan.
Sudah seharusnya menjadi tugas Pemerintahan Jokowi untuk mengubah hegemoni sejarah yang dikomandoi oleh Nugroho Notosusanto di masa silam sebagai proyek besar doktrin Orde Baru, dirombak kembali – agar Revolusi Mental tidak menjadi jargon belaka. Masih terlalu banyak sejarah yang ditutupi, dianggap tabu oleh pengajar, bahkan dianggap terlarang di bumi pertiwi. Pemuda dan Pelajar era reformasi lebih mengenal peristiwa G30S dan Pemberontakan Madiun ‘48 dibanding DI/TII, PRRI, Penembakan Rene Conrad di Kampus ITB, Malari, hingga Munir Mati. Bahkan Investigasi Tempo pun menunjukkan bahwa Paranoia Bahaya Laten Komunis masih mendominasi dibanding kewaspadaan masyarakat terhadap Korupsi dan Otoritarianisme Pejabat dan Aparat.
Mengingat Supersemar dan Peristiwa 1965-1966, tentu tak lengkap rasanya jika tidak mengingat perjuangan Angkatan 66, khususnya Soe Hok Gie. Mengingat beliau adalah belajar bagaimana bersikap objektif dan korektif terhadap kekuasaan, serta berani menantang tirani. Beliau berbeda dari kawan-kawan seperjuangan – seangkatannya yang oportunis. Beliau membuat jarak sejauh-jauhnya terhadap jalan menuju kekuasaan. Seperti halnya teori pengulangan sejarah, yang akan dan selalu terulang, sikap seperti tersebut dilakuan kembali oleh dua orang cendekiawan pada masa runtuhnya Orde Baru; Emha Ainun Najib dan Nurcholish Madjid mengulangnya dengan deklarasi yang mereka namakan “Gentleman Agreement”.
Supersemar, jika tidak bisa dikatakan alat untuk kudeta merangkak, tentu bisa disebut sebagai kebesaran hati seorang Bung Karno sebagai Presiden. Suatu hal yang membuat saya hormat kepada beliau adalah sikapnya yang mengutamakan kepentingan rakyat dan menjauhi Perang Saudara. Tak terbayang jika pada saat itu beliau mengerahkan TNI AL, TNI AU dan Kodam Siliwangi yang setia kepadanya untuk melindungi kekuasaannya. Beliau pun mengutuk aksi pengganyangan yang terjadi di berbagai daerah; aksi yang bagi pihak Angkatan Darat dianggap sebagai “euforia”, padahal kakek saya di Wonogiri pun merasakan pahitnya paksaan untuk membunuh para kerabat dan tetangganya – oleh pasukan RPKAD dan sekutunya.
Reformasi yang sejak awal hanya menjadi simbol kejatuhan Suharto; semacam estafet Orba Ortodoks menuju Neo-Orba. Reformasi yang berkibar sejak awal hanya setengah tiang, kini makin lama makin goyah, dan menuju keambrukannya.
Lima tahun pasca-Munir diracun, saya – khususnya orangtua saya – merasakan pahitnya arogansi Oknum Aparat Militer yang kini menjadi Perwira. Pahit yang saya rasakan hanya setitik – dari darah pesakitan pascareformasi – yang seluas samudera. Apa yang saya rasakan haya satu dari ratusan, bahkan ribuan Salim Kancil – yang bertahan meratapi ajal.
Sepertinya perlu dibuatkan semacam surat laporan kepada Hendriawan Sie, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan dan Moses Gatutkaca, sebagai Pahlawan Reformasi yang berjuang bagi para penerusnya.Tapi sepertinya surat laporan “Reformasi Setengah Tiang” yang hampir ambruk tersebut – tak dapat menandingi kekultusan Surat Perintah 11 Maret – yang dihiasi oleh ribuan jagung di halamannya dan dikelilingi ribuan sisifus yang berbahagia; yang berusaha menjaga kesaktiannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H