[Wahjoe Sardono, Tritura 1974]
Peristiwa Malari, peristiwa kerusuhan 15 Januari 1974 yang bertepatan dengan aksi – Demonstrasi Mahasiswa – menolak Kerjasama Bilateral Indonesia-Jepang. Peristiwa yang seolah mengambing-hitamkan Gerakan Mahasiswa tersebut terjadi di balik rivalitas Antar-Jenderal.Belasan orang tewas, ratusan luka-luka, ratusan toko dijarah, ribuan kendaraan produk Jepang dibakar oleh oknum yang menunggang di balik demonstrasi. Setidaknya lebih dari 700 orang yang terdiri dari berbagai golongan Mahasiswa, Tokoh Nasional, Politik, Agama, hingga Bromocorah tersebut ditahan; sebagian besar tanpa peradilan yang jelas.
Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa UI yang didakwa 6 Tahun penjara akibat peristiwa Malari tersebut harus merasakan pesakitan, yang seperti ia katakan, cukup menjengkelkan. Di tengah menjalanai hari-harinya di Rumah Tahanan Militer Boedi Oetomo, ia harus menghadapi kenyataan pahit atas Istrinya yang mengalami amnesia berkepanjangan pasca-meninggalnya kedua anak kembar yang baru dilahirkan – disusul dengan kepergian Ayahnya ke hadirat Yang Maha Kuasa.
Lain Hariman, lain pula Judilherry Justam, anak Tentara yang melawan Orba. Aktivis Angkatan’74 yang tumbuh dalam lingkungan keluarga Tentara ini, seolah tak mau membenarkan Militerisme Orde Baru. Judilherry bukanlah seutuhnya pemberontak yang tak tahu tanggungjawab. Ia sempat kabur dari tahanan, namun balik lagi demi menuntaskan hukumannya. Bosan di dalam penjara, itulah alasan ia nekat menghirup udara bebas, namun dengan besar hati – ia kembali lagi – demi memenuhi tanggungjawabnya.
Wahyu Sardono, mahasiswa pendatang dari desa, yang memiliki panggilan nurani demi menegakkan kebenaran tersebut – berjejal di antara ribuan barisan mahasiswa – yang memadati pergerakan 15 Januari empat puluh dua tahun silam; seseorang – yang mungkin – tak terbayangkan sebelumnya. Kian tenar di bawah bendera Warkop, tak membuat dirinya memilih berdiam di zona nyaman. Pun, setelah rezim otoriter tersebut jatuh, ia masih tetap mempertahankan apa yang ia perjuangkan di masa muda. Mulai dari menghadang aparat dengan selang hidran di depan Kampus Universitas Atma Jaya pada sidang umum MPR Nopember ’98, hingga berdebat dengan Kepala Staf Teritiorial TNI Letjen Susilo Bambang Yudhoyono – yang hanya tersenyum dan terpojok – pada suatu rapat informal di Kampus UI 1999.
Belum genap 42 tahun peristiwa tersebut. Pada awal tahun ini, bangsa Indonesia seolah dipaksa untuk merefleksikan kembali sejarahnya di masa lalu. Mulai dari Hakim yang memenangkan Perusahaan Pembakar Hutan, hingga Rektor yang mengancam DO Mahasiswanya yang kritis, seakan menunjukan bahwa sejarah hanya dianggap dokumentasi – yang hanya layak – masuk gudang. Mungkin, mereka lupa betapa melelahkannya perjuangan menegakkan keadilan yang justru dialami bangsa yang sudah merdeka ini. Sejarah, baru dirasa penting jika bisa menjadi bahan nostalgia penuh romansa, bukan pedoman – bagi mereka – yang menjadikannya sekadar statistika; tahun kejadian, korban dan jumlah kemenangan.
Amnesia Sejarah, mungkin itulah istilah yang tepat menggambarkan hampir sebagian kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Mulai dari banyaknya propaganda-visual “iseh enak jaman ku toh?” di berbagai media visual, hingga rencana penobatan sebagai Pahlawan kepada sosok pemimpin otoriter yang menggunakan Militerisme sebagai tameng kekuasannya. Banyak yang beranggapan sudah sepantasnya kita memaafkan beliau – yang berdiri di atas kekuasaannya – yang dijaga oleh senapan yang terhunus; di antara darah dan harta yang bergelimangan. Memaafkan tentu perlu, tetapi melupakan, mengapresiasi dengan gelar Pahlawan, apalagi mengulangi kesalahannya – tentu tidak.
“Tetawalah sebelum tertawa itu dilarang” merupakan jargon Warkop yang terkadang – disadari atau tidak – mengajarkan tentang arti indahnya kebebesan yang bertanggungjawab. Bukan sekadar untuk dinikmati, tapi untuk selalu dirawat, diperjuangkan dan dipertahankan; agar tidak berubah menjadi penindasan.
Sumber Referensi: Warkop: Main-Main jadi Bukan Main (2010) | Massa Misterius Malari (Majalah Tempo, 2014)