Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan izin cuti kepada Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau Jokowi yang maju sebagai calon presiden 2014. Banyak kalangan menyesalkan Joko Widodo atau Jokowi tidak mundur dari posisinya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Mereka menilai calon presiden (capres) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terkesan tak yakin bisa menang.
Sementara itu, terkait dengan mudurnya Hatta Rajasa sebagai Menko Perekonomian, Hatta beralasan karena ingin memberikan pendidikan politik. Hatta menjelaskan, seseorang yang maju untuk posisi cawapres tidak boleh memegang jabatan di pemerintahan. Hal itu perlu dilakukan untuk menghindari adanya penyalahgunaan jabatan kalau tidak melepas posisi menteri.
Mundurnya Hatta dan Cutinya Jokowi memang ada perbedaan jika dikaitkan dengan kepentingan diri sendiri. Jokowi masih memiliki sisa masa jabatan lebih dari 3 tahun, sedangkan Hatta tinggal beberapa bulan. Hitung-hitungan untung rugi tentunya Hatta tidak memiliki beban apapun,sudah puas menduduki jabatan.
Namun, jika dilihat dari sudut pandang etika politik tentu memiliki arti yang lain sebagaimana diungkapkan oleh Hatta memang idealnya mundur untuk menunjukkan kesungguhan, bukan spekulasi. Penilaian itu salah satunya dari peneliti senior The Founding Fathers House (FFH), Dian Permata. Menurut dia, Jokowi seharusnya meniru Hatta Radjasa. Berani meninggalkan posisi penting sebagai pejabat publik.
Tidak mundurnya Jokowi menjadi titik lemah dalam kampanye capres yang brsih karena menunjukkan sikap yang kurang percaya diri dan tidak tegas. Dari hasil survey, katakanlah survey tersebut sebagai indikator penilaian, untuk ketegasan, Prabowo jauh lebih unggul dari Jokowi. Sedangkan untuk kejujuran, Jokowi lebih unggul dari Prabowo.
Plus minus memang dimiliki oleh setiap orang,namun plus minus tersebut akan menentukan kemenangan dalam persaingan politik. Rakyat berharap pemimpin yang ideal yaitu pemimpin yang tegas dan jujur.
Kita tinggalkan dulu soal kriteria capres, sekarang kita tengok prilaku manusia pada umumnya, terutama prilaku yang menjadi budaya bangsa kita atau yang kita lihat sendiri.
Seorang pejabat yang jujur, dengan gaji yang dia terima, dia akan hidup sederhana. Pejabat seperti ini oleh dikatakan sebagai pejabat yang bodoh tidak mau menggunakan kesempatan. Tetapi, seorang pejabat yang kaya, akan lebih disegani dan mendapat pujian karena selain berhasil dalam jabatan juga berhasil mengangkat status sosialnya dilingkungan masyarakat.
Artinya, budaya kita melihat kejujuran dalam sudut pandang yang absurd, lebih mengedepankan apa yang dia lihat. Seorang calon gubernur atas kontestan politik akan lebih dilihat kalau dinilai tidak pelit dengan berbagai hadiah agar menarik perhatian pemilih.
Didalam persaingan pemilihan presiden, tentu akan sulit menarik simpati dengan hadiah. Jika kita kembali pada hasil survey, Prabowo lebih unggul dalam hal ketegasan. Melihat dari indikator terebut, didalam kehidupan sosial kemasyarakatan seperti saat ini, kejujuran akan menjadi hal menakutkan karena masyarakat sudah biasa dalam hidup yang melanggar.
Contoh sederhana bisa kita lihat dijalanan, masyarakat lebih senang denda damai karena melanggar lalu lintas ketimbang mengikuti aturan. Begitu juga dari segi moral keagamaan, walaupu judi dan maksiat dilarang agama, tetap saja perjudian dan tempat maksiat berkembang dan bahkan menjadi tempat pavorit para pejabat dari pada berada di Mesjid.