"Tolong ya, kita sebagai anak bangsa, hai kau tukang polling yang katanya ahli-ahli, jangan kau pakai keahlianmu untuk menipu rakyat demi kamu kaya,". Ucapan Prabowo Subianto yang berencana maju Pilpres 2019 mendatang seolah melampiaskan kekesalannya kepada lembaga survey yang dinilainya bekerja untuk siapa yang membayar. Bisa saja kekesalannya lantaran calon gubernur DKI yang diusungnya hampir seluruhnya diungguli paslon pesaingnya.
Memang hasil polling lembaga survey dapat mempengaruhi opini publik namun tidak selalu memenangkan kandidat dalam perebutan kekuasaan. Seperti hal halnya Hillary Clinton yang diunggulkan oleh lembaga survey nyatanya kalah dalam pilpres oleh Donald Trump yang akhirnya terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat menggantikan Barrack Obama yang menduduki jabatan dua periode.
Kepercayaan terhadap lembaga survey ini sedikit demi sedikit mulai tergerus seiring dengan situasi politik dan ekonomi yang tidak kunjung membaik ( menurut para oposan ). Sebut saja SBY yang sebelumnya menjadi penguasa, kini mengambil posisi sebagai oposan yang sering mengkritisi pemerintah sehingga sering menjadi bahan cemooh di media sosial. Apalagi melihat hasil survei belakangan ini atas ketiga Paslon Guburnur DKI yang lebih banyak menempatkan AHY sebagai kampiun, sebutlah diantara ketiga cagub DKI, AHY adalah yang paling junior, seorang yang masih Junior mampu mengungguli lawan2 yang boleh dikatakan jauh lebih senior.
Namun politik itu cair, politik itu aneh, politik itu tidak masuk akal karena politik liberal mensahkan segala cara, dengan cara licik sekalipun. Namun juga harus diingat, bahwa masayarakat yang konservatif juga akan melihat bibit, bebet dan bobot. AHY boleh dikatakan memenuhi sayarat tersebut ( biasanya untuk memilih calon menantu ) apalagi kalau terjadi penggiringan opini. Maka, menjadi tidak aneh kalau di Indonesia berkembang politik dinasti, ayah gubernur, anak terpilih menjadi bupati, berikutnya atau suami Bupati dilanjutkan oleh isterinya.
Dalam politik, ini menurut pandangan Niccolo Marciavelli, kekuasaan yang kuat kalau memiliki tentara yang kuat dan hukum yang baik. Namun, faktanya hukum banyak digunakan untuk memaksa agar rakyat tunduk. Hukum akan buruk kalau dipegang orang yang buruk sebab hukum adalah buatan manusia yang dengan mudah diputar balik untuk kepentingan manusia.
Dalam pilkada DKI hukum juga digunakan untuk menjatuhkan lawan politiknya, walaupun tidak diakui, namun karena masalah hukum kemungkinan bisa saja urung menjabat walaupun sudah meraih kemenangan.
Banyaknya kepala Daerah yang menjadi pesakitan KPK baik oleh hasil penyelidikan maupun OTT seperti menegaskan KPK menghindar dari tujuan politik dalam perebutan kekuasaan. Sebaliknya, seperti apa yang dialami oleh Ahok maupun Sylviana yang ditangani oleh Polri mudah diputar balik menjadi tindakan pencegahan untuk berkuasa yang dapat menimbulkan pandangan digunakan untuk kepentingan para kontestan dalam bersaing.Â
Seperti apa yang dialami oleh Bupati Tanggamus, Lampung yang belum lama berselang berurusan dengan KPK oleh karena laporan anggota DPRD yang "menolak" suap persetujuan anggaran, namun tak lama Sekda dan anggota DPRD serta pengusaha digrebek polisi dikamar hotel dan kedapatan menyimpan barang jenis narkotika atas laporan masyarakat.Â
Kembali kepada lembaga survey, lembaga survey ini digunakan oleh seluruh kontestan kepala daerah, bukan hanya untuk DKI saja. Namun dengan melihat banyaknya kepala daerah yang terlibat masalah hukum akan menimbulkan pertanyaan sampai sejauh mana kredibiltas lembaga-lembaga ini atas opini yang terbentuk didalam masyarakat pemilih. Bisa saja responden yang dituju adalah orang2 yang tidak mengenal sama sekali kepada tokoh yang disurvey. Wajalah kalau Prabowo Subianto "uring2an" melihat penampilan pengusaha lembaga survey memakai mobil mewah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H